Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan Konservatif

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pendidikan konservatif

Paradigma pendidikan konservatis bermula dari suatu konstruksi filosofis yang lebih banyak berkiblat pada aliran filsafat pendidikan Perenialisme dan essensialisme. Konsep-konsep dasar tentang berbagai unsur pendidikan cenderung bersifat statis serta kurang mampu mengakomodir pandangan-pandangan baru(eksklusif). Orientasi pendidikankonservatif adalah untuk mempertahankan nilai-nilai normatif yang telah mapan (status quo). Pendidikan tidak jauh beda dengan proses transfer nilai yang kemudian dijadikan sebagai pedoman hidup.

Dua aliran filsafat yang mendasari pendidikan konservatif ini sebenarnya memiliki orientasi yang sama, yakni lebih mayakini nilai-nilai keabadian sebagai tujuan akhir. Jika perenialisme langsung memahami orientasi akhir dari pendidikan sebagai pengakuan terhadap nilai-nilai transendental. Sedangkan essensialisme lebih meyakini nilai-nilai kemanusiaan yang paling fundamental, yaitu dimensi moralitas yang bersumber dariajaran agama. Meskipun model atau perwujudan aliran filsafat pendidikan ini terlihat berbeda, namun secara substantif adalah sama.

Pendidikan yang berhaluan konservatif kemudian lebih banyak memproduksi kesadaran semu karena memiliki kecenderungan kearah nilai-nilai transendental. Karena, sejatinya nilai-nilai transendental itu lebih dekat maknanya dengan mistik. Dalam bahasanya paulo fiere niali-nilai transendental itu kemudian mempengaruhi pol kesadaran manusia yang kemudian disebut magic consciousness (kesadaran magis). Proses transformasi nilai lebih disandarkan pada aspek-aspek pragmatis yang bersifat supra-natural, sehingga manusia hanyalah sebatas menjadi obyek dari perintah-perintah(dogma) magis itu. Bahkan, konsep-konsep dasar tentang hakikat manusia dan pendidikan terlalu menenggelamkan aspek-aspek potensi manusia.

Dengan mengkonstruksi konsep hakikat manusia, missalnya, pendidikan konservatis menempatkan posisi manusia sebagai obyek dogma-dogma. Bahkan dalam implementasinya, manusia sering dijadikan obyek dogma-dogma itu sehingga melahirkan kesadaran magis yang cenderung menempatkan posisi manusia sbagai obyek tak berdaya (cogniyagle).

Karena cenderung mamahami peran dan posisi manusia sebagai subyek nasib (takdir Tuhan), maka dia hanya sekedar meyakini ketentuan nasib itu, tanpa berbuat seperti yang dikehendakinya. Malah keyakinan pada kekuatan diluar dirinya lebih dominan sehingga mengakibatkan sikapnya cenderung fatalistik.

Manusia itu tidak berdaya melawan nasib misalnya, karena itu dia tidak bisa memahami potensi-potensi diri sendiri dan realita sosial yang dihadapinya. Dalam perspektif teologi islam, posisi manusia dengan ketidakberdayaannya menghadapi nasib (takdir) tertuang dalam doktrin-doktrin jabariyah. Persoalan nasib manusia merupakan suratan takdir yang tidakbisa diganggu gugat oleh manusia. Jika manusia melawan nasib, sama artinya dia melawan takdir (Tuhan?).

Konsep pendidikan konservatif kemudian lebih banyak dimanfaatkan oleh sekelompok orang dengan kepentingan tertentu untuk melanggengkan norma-norma atau untuk konteks kekuasaan dijadikannya sebagai legitimasi utnuk melanggengkan kekuasaan mereka. Karena, keyakinan fatalistik itu memang sangat rentan ditumpangi kepentingan politik tertentu.

Dalam strateginya, pendidikan konservatif lebih mempertentangkan antara pihak dan peserta didik dalam pola hubungan structural. Paulo fiere sering mengasosiasikanpola pemahaman pendidikan konservatif sebagai model pendidikan “gaya bank” (banking consep of education). Akibatnya, pendidikan tidak dinamis dan hanya memberikan kontribusi dogma-dogma magis yang tidak mampu mengubah nasib hidup manusia. Proses pendidikan itu seakan-akan seperti proses transfer ilmu pengetahuan dari guru ke muridnya.

Konservatisme pendidikan sebenarnya berkembang ketika filsafat sekolastik jaya. Aliran filsafat sekolastik telah mendominasi konstruksi pengetahuan di Barat. Tepatnya ketika filosof Thomas Aquinas (1225-1274) Berjaya dengan seluruh pandangan-pandangan filosofisnya. Konservatisme pendidikan itu sebenarnya tercermin dari suatu model pembelajaran di Barat yang menggunakan istilah school dan kemudian menjadi popular menjadi abad sekolastik. Dan jika mengkaji lebih jauh seputar pandangan-pandangan filosofis Thomas Aquinas, sebenarnya dia banyak mengadopsi pandangan-pandangan Al-Ghazali (1058-1111) yang lebih menekankan pada aspek filsafat perenialisme (keabadian).

Pandangan konservatifisme pendidikan sebenarnya bermuara pada suatu prinsip fundamental, bahwa sejatinya realitas kosmis inim merupakan suatu tatanan statis dan baku yang datang dari sang pencipta. Manusia dengan segenap makhluk ciptaan Tuhan yang lain di bumu tidak memiliki daya upaya untuk mengubah tatanan semesta kosmis itu. Termasuk dalam konteks ini adalah masalah nasib dan kebebasan hidup manusia. Seluruh nasib manusia merupakan suatu suratan takdir yang tidak bias diganggu gugat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline