Lihat ke Halaman Asli

Umi Nadhira

Ibu Rumah Tangga pejuang keluarga harmonis

Wisuda Sekolah, Seremoni Mahal dengan Manfaat Nol

Diperbarui: 1 Mei 2025   21:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi wisuda anak TK (Sumber: kumparan.com)

Musim kelulusan sekolah kerap disambut meriah dengan acara perpisahan dan wisuda yang mewah, lengkap dengan gaun toga, sewa gedung hotel, dekorasi, dokumentasi, bahkan hiburan artis lokal. Namun, apakah benar kegiatan ini esensial dalam dunia pendidikan? Atau justru menjadi beban tambahan, khususnya secara finansial?

Dari perspektif ekonomi mikro, kegiatan wisuda dan perpisahan sekolah dapat dikategorikan sebagai non-essential spending, pengeluaran tidak wajib yang tidak menambah nilai pada pencapaian akademik atau pengembangan kompetensi siswa. Bahkan, dalam banyak kasus, manfaatnya nyaris nihil. Prinsip efisiensi dalam ekonomi mikro mengajarkan bahwa setiap sumber daya, terutama uang, harus dialokasikan pada aktivitas yang menghasilkan nilai tambah maksimal. Sayangnya, acara wisuda sekolah tidak menghasilkan efek belajar, tidak menambah kemampuan anak, dan tidak mendongkrak daya saing siswa.

Dalam praktiknya, acara perpisahan dan wisuda cenderung menjadi ajang sosial yang penuh gengsi. Biaya ratusan ribu hingga jutaan rupiah dibebankan kepada orang tua hanya untuk satu-dua hari seremoni. Apakah itu sepadan dengan hasilnya? Sebagian besar akan menjawab, tidak.

Orang tua dari kalangan ekonomi lemah adalah pihak paling terdampak. Mereka seringkali merasa "terpaksa ikut" demi menghindari stigma anaknya merasa tersisih karena tidak ikut wisuda. Dalam teori behavioral economics, ini disebut sebagai social pressure cost atau biaya yang timbul karena tekanan sosial.

Pendidikan bukan tentang seremoni, tapi tentang proses. Wisuda sekolah bukan kewajiban, apalagi jika menjadi beban. Yang penting bukan gaun toga, tapi nilai-nilai yang tertanam dalam diri anak sepanjang perjalanan belajarnya.

Ironisnya, dalam logika pendidikan modern, esensi kelulusan adalah proses pembelajaran, bukan seremoni. Menurut teori konstruktivisme dalam pendidikan, yang penting adalah bagaimana siswa membangun pengetahuan dan sikap baru dari proses belajar, bukan perayaannya. Selain itu, acara wisuda di tingkat TK, SD, hingga SMP tidak memiliki signifikansi akademik. Berbeda dengan wisuda universitas yang menjadi penanda selesainya masa studi panjang dan kompleks. Wisuda sekolah dasar hanya menjadi simbol yang dikonstruksi, bukan kebutuhan riil.

Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang melarang pungutan biaya wisuda dan study tour adalah langkah tepat. Ini menunjukkan keberpihakan terhadap prinsip keadilan distributif dalam ekonomi, di mana tidak ada pihak yang dirugikan oleh sistem yang tidak relevan. Kita harus ingat bahwa pendidikan adalah hak, bukan komoditas. Ketika proses belajar dikomersialisasi melalui pungutan seremoni, yang terjadi adalah privatisasi pengalaman pendidikan, mereka yang mampu bisa menikmati, yang tidak mampu dipinggirkan.

Lebih buruk lagi, komersialisasi ini kadang dikelola oleh pihak ketiga, seperti event organizer, yang mengambil margin besar dari setiap murid. Sekolah menjadi sekadar fasilitator formalitas tanpa kontrol atas efisiensi dan urgensi. Dalam perspektif ekonomi pendidikan, setiap rupiah dalam anggaran keluarga seharusnya digunakan untuk memperkuat human capital, seperti les, buku, atau tabungan pendidikan, bukan untuk seremoni yang berlalu tanpa jejak berarti dalam perkembangan siswa.

Mengukur keberhasilan belajar bukan dari panggung wisuda, tapi dari karakter dan kompetensi yang dibawa anak menuju masa depan. Jangan biarkan pesta satu hari mengalahkan makna pendidikan seumur hidup. 

Memaksakan wisuda sekolah juga bertentangan dengan pendekatan pendidikan inklusif. Alih-alih membangun lingkungan belajar yang setara, acara ini menambah sekat antara siswa yang "ikut wisuda" dan yang "tidak mampu ikut". Alternatifnya, sekolah dapat mengadakan pelepasan sederhana di kelas tanpa pungutan biaya: refleksi guru, apresiasi capaian siswa, dan surat kenangan. Inti dari pendidikan bukan pada meriahnya acara, tapi pada kuatnya nilai dan karakter yang dibentuk.

Saatnya masyarakat, guru, dan orang tua melepaskan euforia semu dari budaya seremoni pendidikan yang tak esensial. Kita perlu kembali pada orientasi pendidikan sebagai proses peningkatan kualitas manusia, bukan ajang kosmetik sosial. Wisuda dan perpisahan boleh ada, tapi tidak boleh menjadi beban. Harus bersifat sukarela, sederhana, dan tanpa pungutan biaya. Sebab, pendidikan yang bermakna bukan tentang bagaimana kita merayakannya, tapi bagaimana kita menjalaninya dengan kesadaran dan kebermanfaatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline