Lihat ke Halaman Asli

Tupari

TERVERIFIKASI

Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Etika Berdemo yang Tidak Diajarkan di Sekolah

Diperbarui: 5 September 2025   23:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Demo Beretika. (Sumber: Dok. Pribadi/dibuat dengan AI)

Di Indonesia, demonstrasi sudah menjadi bagian dari denyut demokrasi. Dari gerakan mahasiswa 1998 yang mengguncang rezim Orde Baru hingga aksi-aksi protes di era digital, jalanan selalu menjadi ruang ekspresi masyarakat.

Namun, ada satu hal yang kerap luput dari perhatian: etika berdemonstrasi. Padahal, panduan moral dan sikap sosial inilah yang krusial agar aksi tak berubah menjadi kericuhan atau meninggalkan trauma sosial.

Di sekolah kita diajarkan Pendidikan Pancasila, hak dan kewajiban warga negara, hingga prinsip demokrasi. Tapi tak ada satu bab pun yang mengajarkan bagaimana menyuarakan aspirasi di jalan dengan cara yang tertib, aman, dan bermartabat.

Di satu sisi, demonstrasi adalah simbol kematangan demokrasi. Ia menjadi panggung bagi rakyat untuk bersuara, menuntut keadilan, dan mengingatkan pemerintah bahwa kedaulatan sejati ada di tangan mereka. Jalanan menjelma ruang publik yang sah, tempat hak konstitusional dijalankan dengan lantang.

Namun di sisi lain, demonstrasi kerap menjelma wajah buruk demokrasi: anarkis, membakar fasilitas umum, melempari aparat, hingga menebar ketakutan bagi masyarakat yang tidak tahu menahu. Aspirasi yang semestinya menyatukan justru tercerai berai dalam amarah.

Paradoks inilah yang menohok. Demokrasi memberi hak untuk bersuara, tapi tanpa etika, suara itu berubah jadi bising. Tuntutan rakyat seharusnya menjadi cahaya bagi perubahan, tetapi justru bisa memantik api kerusuhan yang membakar kepercayaan publik.

Demo yang tertib adalah simbol kedewasaan politik. Demo yang anarkis hanya menegaskan bahwa kita belum benar-benar siap berdemokrasi.

Demonstrasi adalah wajah demokrasi: di situlah rakyat bersuara, menuntut hak, dan menguji kekuasaan. Namun, ketika aksi berubah jadi anarki: membakar, melempar, merusak - demokrasi justru kehilangan martabatnya. Inilah paradoks jalanan: ruang aspirasi yang mulia bisa seketika menjelma panggung amarah.

Hak, tetapi juga Tanggung Jawab

Demonstrasi adalah hak. Pasal 28 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memberikan jaminan kepada masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya. Namun, setiap hak selalu melekat dengan tanggung jawab.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline