Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Etika Berdemo yang Tidak Diajarkan di Sekolah

6 September 2025   10:08 Diperbarui: 5 September 2025   23:24 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Demo Beretika. (Sumber: Dok. Pribadi/dibuat dengan AI)

Di Indonesia, demonstrasi sudah menjadi bagian dari denyut demokrasi. Dari gerakan mahasiswa 1998 yang mengguncang rezim Orde Baru hingga aksi-aksi protes di era digital, jalanan selalu menjadi ruang ekspresi masyarakat.

Namun, ada satu hal yang kerap luput dari perhatian: etika berdemonstrasi. Padahal, panduan moral dan sikap sosial inilah yang krusial agar aksi tak berubah menjadi kericuhan atau meninggalkan trauma sosial.

Di sekolah kita diajarkan Pendidikan Pancasila, hak dan kewajiban warga negara, hingga prinsip demokrasi. Tapi tak ada satu bab pun yang mengajarkan bagaimana menyuarakan aspirasi di jalan dengan cara yang tertib, aman, dan bermartabat.

Di satu sisi, demonstrasi adalah simbol kematangan demokrasi. Ia menjadi panggung bagi rakyat untuk bersuara, menuntut keadilan, dan mengingatkan pemerintah bahwa kedaulatan sejati ada di tangan mereka. Jalanan menjelma ruang publik yang sah, tempat hak konstitusional dijalankan dengan lantang.

Namun di sisi lain, demonstrasi kerap menjelma wajah buruk demokrasi: anarkis, membakar fasilitas umum, melempari aparat, hingga menebar ketakutan bagi masyarakat yang tidak tahu menahu. Aspirasi yang semestinya menyatukan justru tercerai berai dalam amarah.

Paradoks inilah yang menohok. Demokrasi memberi hak untuk bersuara, tapi tanpa etika, suara itu berubah jadi bising. Tuntutan rakyat seharusnya menjadi cahaya bagi perubahan, tetapi justru bisa memantik api kerusuhan yang membakar kepercayaan publik.

Demo yang tertib adalah simbol kedewasaan politik. Demo yang anarkis hanya menegaskan bahwa kita belum benar-benar siap berdemokrasi.

Demonstrasi adalah wajah demokrasi: di situlah rakyat bersuara, menuntut hak, dan menguji kekuasaan. Namun, ketika aksi berubah jadi anarki: membakar, melempar, merusak - demokrasi justru kehilangan martabatnya. Inilah paradoks jalanan: ruang aspirasi yang mulia bisa seketika menjelma panggung amarah.

Hak, tetapi juga Tanggung Jawab

Demonstrasi adalah hak. Pasal 28 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memberikan jaminan kepada masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya. Namun, setiap hak selalu melekat dengan tanggung jawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun