Lihat ke Halaman Asli

wiezkf

Open Observer

Hedonic Treadmill: Jerat Kebahagiaan Semu dalam Lebaran

Diperbarui: 1 April 2025   15:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Lentera Ramadhan Khas Negeri Magribi/Maroko (Sumber: Pixabay/pemacallan)

"Di balik gemerlap belanja Lebaran, tersembunyi paradoks yang jarang kita sadari; semakin banyak yang kita konsumsi, semakin kosong yang kita rasakan. Dalam ulasan artikel ini mengajak Kita merenung: benarkah kebahagiaan bisa dibeli dengan kartu kredit?"

Catatan Redaksi: Artikel ini terlambat dipublikasi dikarenakan faktor cuaca (hujan lebat) sehingga terjadi gangguan jaringan internet. Semoga tim dan admin Kompasiana dapat memakluminya. 

Paradoks Kelimpahan 

Mengapa Konsumsi Berlebihan Saat Lebaran Justru Mengurangi Kebahagiaan? Lebaran seharusnya menjadi momen kemenangan hati, saat kita merayakan kesucian setelah sebulan berpuasa, memaafkan, dan mempererat tali silaturahmi. 

Namun, di tengah gemerlapnya diskon, hidangan mewah, dan pakaian baru, banyak dari kita justru merasa lelah, stres, bahkan kosong setelah semuanya berlalu. 

Mengapa kebahagiaan yang kita cari dalam kelimpahan materi justru berubah menjadi beban?

Hedonic Treadmill: Ketika Kebahagiaan Hanya Sementara

Pernahkah Anda merasa bahwa kegembiraan membeli baju Lebaran mahal atau menyajikan hidangan istimewa cepat memudar? 

Dalam psikologi, fenomena ini disebut hedonic treadmilldi mana kita terus berlari mengejar kebahagiaan melalui materi, tetapi kebahagiaan itu sendiri tidak pernah benar-benar bertahan. 

Setelah euforia lebaran usai, yang tersisa hanyalah kelelahan dan tekanan untuk "lebih mewah" di tahun depan.

Sebuah penelitian oleh Kahneman & Deaton (2010) menemukan bahwa kebahagiaan tidak meningkat signifikan setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Artinya, membeli lebih banyak, makan lebih banyak, atau menghabiskan uang lebih banyak tidak membuat kita lebih bahagia dalam jangka panjang.

Foto: Ilustrasu Kotak hadiah untuk Lebaran (Sumber: Pexels/RDNE Stock project) 

Dampak Psikologis: Stres, Lelah, dan Kehilangan Makna

1. Beban Finansial yang Menghantui

Tekanan sosial untuk "tampil sempurna" sering kali membuat kita tergoda menggunakan kartu kredit atau paylater tanpa perhitungan. 

Padahal, setelah Lebaran, tagihan datang bertubi-tubi, memicu kecemasan dan penyesalan.

2. Kelelahan yang Menggerogoti Sukacita

Mempersiapkan Lebaran mulai dari memasak berjam-jam, mudik dengan biaya tinggi, hingga memaksakan diri menghadiri semua undangan bisa menguras energi fisik dan emosional. 

Studi dalam Cogent Psychology menunjukkan bahwa aktivitas sosial justru menurunkan kualitas interaksi dan meningkatkan stres, di mana mereka tidak mengamati efek yang sama kuatnya pada pengendalian diri (Sonja Heller, et al. 2017).

3. Makna Spiritual yang Tergerus

Di balik hiruk-pikuk belanja dan pesta, esensi Lebaran sebagai momen refleksi dan kebersamaan sering kali terlupakan. Ketika fokus kita hanya pada; 

"apa yang kita beli" dan bukan "bagaimana kita berbagi," kebahagiaan sejati justru menjauh.

Solusi: Lebaran yang Lebih Bermakna dengan Minimalisme

Bagaimana agar Lebaran tetap istimewa tanpa terjebak dalam konsumsi berlebihan?

Utamakan Kebersamaan, Bukan Kemewahan: Kebahagiaan terbesar di Lebaran datang dari momen bersama keluarga, bukan dari seberapa mahal baju yang kita kenakan. Cobalah menghabiskan waktu berkualitas; 

bercerita, bermain dengan anak, atau sekadar duduk bersama sambil menikmati teh hangat.

 Anggaran Bijak, Hati Tenang: Buatlah daftar belanja berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan. Alih-alih berutang untuk pesta besar, lebih baik merayakannya sederhana tanpa beban finansial setelahnya.

Foto: Ilustrasi Banner Selamat Idul Fitri (Sumber: Pixabay/GDJ) 

 Mindful Spending: Beli yang Dibutuhkan, Bukan yang Diinginkan. Sebelum membeli, tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini benar-benar diperlukan? 

Adanya kesadaran penuh, kita bisa terhindar dari pemborosan yang justru merugikan.

Intisari: Kebahagiaan Sejati Ada dalam Kesederhanaan

Lebaran bukanlah ajang perlombaan materi, melainkan perayaan hati. Ketika kita melepaskan tekanan untuk tampil sempurna dan kembali pada esensinya, bersyukur, memaafkan, dan berbagi, kita akan menemukan kebahagiaan yang lebih tulus dan berkelanjutan.

Mari tahun ini kita rayakan Lebaran dengan lebih mindful, lebih bermakna, dan lebih bahagia—tanpa perlu menunggu diskon atau menghabiskan tabungan. Karena kebahagiaan sejati tidak pernah datang dari apa yang kita beli, melainkan dari bagaimana kita merasakannya.

Bibliografi

Referensi berbasis tautan tanpa detail bibliografi dalam artikel ini.

تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ

Di hari suci ini, mari kita tidak hanya merayakan, tetapi juga meningkatkan-jiwa kita, kebaikan kita, dan rasa syukur kita. Semoga Idul Fitri-mu secerah bintang-bintang di langit.!

Apabila terdapat ada lisan/tulisan yang tidak berkenan di hati saudara-saudara semuanya disini. Maka, izinkan saya mengahaturkan permohonan maaf yang penuh tulus. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H. Mohon maaf lahir Bathin. 🙏✨

That's all from me today. See you in the next article! Thank you for stopping by. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline