Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia tetap menerbitkan perizinan tambang yang dilakukan oleh PT Gag di Raja Ampat menimbulkan pertanyaan besar dan kekcewaan yang mendalam. Fakta ini dilaporkan oleh organisasi aktivis lingkungan Greenpeace dalam unggahan Instagramnya pada Kamis, 11 September 2025.
Menurut Tempo, pemerintah berdalih beroperasi karena berdasarkan hasil evaluasi pemerintah, perusahaan tersebut dinilai mematuhi aturan lingkungan hidup dan tata kelola limbah yang baik sesuai dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal). Namun pernyataan tersebut terasa ambivalen. Bagaimana mungkin tambang yang berisko merusak kawasan segenting Raja Ampat justru dianggap aman?
Dengan adanya perizinan tambang dari PT Gag, hal ini juga menjadi bukti sikap apatis pemerintah terhadap kelestarian ekosistem yang merupakan rumah bagi 75 spesies terumbu karang di seluruh dunia tersebut. Mengabaikan fakta ini sama saja dengan kontitusional mengabaikan tanggung jawab dalam menjaga kenekaragaman untuk generasi mendatang.
Pemerintah tidak belajar, bahkan mengabaikan dampak-dampak negatif dari aktivitas pertambangan. Padahal, dampak pertambangan sudah menjadi fakta umum yang terjadi di lapangan. Sudah saatnya pemerintah berdiri menjamin warga negaranya. Jika tidak sekarang, kami tidak mau menunggu sampai terjadi kehancuran.
Seolah tidak membuka mata, pemerintah seperti tertidur panjang terhadap 60.000 orang yang telah menandatangani petisi untuk menolak segala bentuk operasi tambang di Raja Ampat.
Potensi kerusakan lingkungan tidak main-main; pencemaran air dan udara, erosi, serta terganggunya keanekaragaman hayati di Raja Ampat, ditambah dengan dampak sosial berupa gangguan terhadap mata pencaharian nelayan dan potensi hilangnya kedaulatan warga di pulau kecil, merupakan sebagian risiko yang dapat terjadi.
Ironisnya, usaha pemerintah tersebut diduga melakukan tindak pidana karena melanggar UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jika benar demikian ini bukan hanya pengabaian etika lingkungan, tetapi juga pelanggaran undang-undang. Diamnya Menteri Bahlil Lahadalia saat diwawancarai oleh Tempo mengenai dugaan pelanggaran undang-undang menimbulkan kekhawatiran: mungkinkah undang-undang baru dibuat sebagai dilegalkan usaha hari ini? Jika hal ini benar terjadi, maka kita sedang mengalami kemunduran jauh demokrasi, tenggelam akibat abuse of power yang terbungkus menjadi budaya di negara yang katanya menjunjung tinggi konstitusi.
Dengan adanya lampu hijau perizinan tambang yang melanggar undang-undang tersebut, pemerintah lebih memilih jalan pintas ekonomi dibandingkan dengan melakukan pelestarian lingkungan yang menjadi warisan ekosistem yang sudah diakui dunia. pengabaian terhadap kelestarian lingkungan adalah bentuk kejahatan terstruktur sebab melibatkan intansi terbesar yang memiliki konstitusi. Bukan tanpa alasan jika kepercayaan publik terhadap pemerintah mengalami penurunan.
Raja Ampat, bukan milik segelintir koporasi, bukan pula milik ia yang berkuasa. Selain menjadi rumah bagi biota laut dan masyarakat setempat, Raja Ampat merupakan milik seluruh rakyat Indonesia. Seperti rumah yang wajib dijaga, ia harus dipertahankan dari tangan-tangan serakah yang hanya melihat keuntungan. Maka menjaga Raja Ampat bukan sekadar tugas segelintir orang, melainkan kewajiban moral setiap warga negara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI