Yuyu Kangkang dan Klenting Abang di Dunia Nyata
Mencari Jejak Klenting Kuning yang Hilang
Di tengah derasnya arus Sungai Bengawan dalam cerita Ande-Ande Lumut, Yuyu Kangkang menjadi penjaga jahat yang hanya memberi jalan pada mereka yang bersedia menyerahkan harga dirinya.
Ia bukan sekadar makhluk mistis, tapi simbol pemaksaan ragawi dan ancaman terselubung. Kisah ini, yang diwariskan lewat tutur dan tembang rakyat, ternyata menyimpan kritik budaya yang tetap menggema di masa kini.
Namun kini, Yuyu Kangkang tak lagi hidup di air. Ia menjelma dalam bentuk remaja laki-laki yang lihai membujuk, menekan, bahkan memaksa. Ia muncul di balik layar gawai, grup percakapan daring, pesta malam minggu, bahkan di lorong sekolah.
Dan yang lebih menyedihkan, banyak remaja perempuan justru menanggalkan sosok Klenting Kuning yang sabar dan bijak, untuk menjadi Klenting Abang---yang hanya ingin terlihat keren, cepat dewasa, dan instan dicinta.
Ketika Sungai Berganti Layar
Krisis Simbolik dalam Budaya Pop
Fenomena ini bukan sekadar kisah individual. Data dari BKKBN menunjukkan sekitar 50.000 remaja Indonesia mengalami kehamilan di luar nikah. Penyebabnya beragam---dari minimnya pendidikan seksual hingga lemahnya kontrol diri dan absennya figur teladan (CNN Indonesia, 18 Jan 2023).
Kini, fenomena itu semakin nyata dan mengkhawatirkan. Empat bocah perempuan usia 4 -- 6 tahun di Bekasi menjadi korban pencabulan oleh temannya sendiri yang baru berusia 8 tahun (DetikNews, Rabu, 11 Juni 2025). Betapa mencengangkan bahwa anak kelas dua SD bisa menjelma menjadi Yuyu Kangkang kecil. Ia bukan lagi tokoh fiksi atau metafora, tapi realitas yang menyelinap di antara generasi yang kehilangan arah moral sebelum memahami makna tubuh dan batas.
Klenting Kuning, simbol keteguhan dan kebijaksanaan dalam cerita rakyat, kini menjadi barang langka. Yang memilih menjaga diri malah dianggap kolot. Yang berani berkata "tidak" justru diasingkan dari narasi populer.
Dalam budaya kita yang makin terobsesi pada kebebasan tanpa bingkai makna, batasan nilai tak lagi dianggap keren. Klenting Kuning yang tak terjamah Yuyu Kangkang, kalah suara oleh dentuman budaya pop, konten viral, dan hasrat eksistensi di media sosial.
Mereka yang memilih menjaga diri sering terjebak dalam sunyi dan sepi, karena masyarakat tak menyediakan ruang aman untuk bertumbuh dengan martabat.
Paradoks yang Membingungkan
Jilbab, Ceramah, dan Simbol yang Bergeser