"Pejabat kita yang suka pamer koleksi mobil mahal, tapi tak banyak yang sadar, kekayaan sesungguhnya justru ada di tumpukan buku yang jarang mereka sentuh."
Saya tidak tahu persis kapan narasi pejabat yang gemar pamer kekayaan ini dimulai. Tapi saya sering melihatnya di linimasa media sosial. Ada yang memamerkan koleksi jam tangan, ada yang mobil klasik, ada pula yang hobi bersepeda dengan sepeda yang harganya bisa buat beli rumah KPR di pinggir kota, bahkan ada yang mengoleksi mainan mahal. Jarang, atau bahkan nyaris tidak pernah, saya menemukan pejabat yang memamerkan rak bukunya yang penuh, apalagi buku yang sudah lecek, lusuh, dengan coretan stabilo di mana-mana.
Fenomena ini, ironisnya, terasa seperti metafora yang pas untuk situasi hari ini. Kita punya pejabat yang terlihat kaya secara materi, tapi apakah mereka juga kaya secara intelektual? Kita punya mereka yang sigap meng-upload setiap kegiatan seremonial, tapi apakah mereka juga punya waktu untuk "meng-upload" ide-ide segar ke dalam kepala mereka sendiri?
Ini bukan soal memojokkan hobi. Tentu saja, hobi itu hak tiap individu. Ini juga bukan soal menuduh pejabat tidak berilmu. Tentu saja, banyak dari mereka yang bergelar tinggi dari kampus-kampus ternama. Namun, yang saya dan publik pertanyakan adalah kebiasaan. Adakah kebiasaan membaca sebagai sebuah ritual penting, bukan sekadar mengisi waktu luang, yang dilakukan para pejabat? Jika tidak, maka kita sedang berada di sebuah persimpangan berbahaya: dipimpin oleh mereka yang hanya melihat permukaan, bukan esensi.
Di Balik Pemandangan yang Kerap Bikin Geleng-Geleng Kepala
Membaca, seperti yang kita tahu, jauh melampaui sekadar menamatkan buku. Membaca adalah proses mengolah informasi, menyerap sudut pandang, dan merajut gagasan. Bagi seorang pemimpin, ini adalah bekal paling dasar untuk melahirkan visi. Tanpa membaca, seorang pejabat akan sulit untuk membawa perubahan fundamental.
Jangan Sampai Pemimpin Bermental Pemadam Kebakaran
Seorang pemimpin yang tak suka membaca akan selalu bermental pemadam kebakaran. Mereka hanya akan sibuk memadamkan api masalah yang sudah telanjur besar. Kebijakan yang dibuat hanya bersifat reaktif, bukan proaktif, karena tidak memiliki pemahaman mendalam tentang akar masalah. Alih-alih merancang sistem irigasi yang kuat, mereka hanya akan membagi-bagikan ember di tengah kekeringan.
Hal ini didukung oleh artikel dari sebuah jurnal di mana disebutkan bahwa membaca adalah pondasi untuk pemikiran strategis. Dengan membaca, pemimpin dapat memahami berbagai skenario dari kasus-kasus di negara lain, teori ekonomi yang berbeda, hingga dinamika sosial yang kompleks. Mengacu pada artikel dari Medium.com, disebutkan bahwa membaca mengasah kualitas kepemimpinan yang esensial, termasuk pengambilan keputusan yang lebih matang, empati, dan visi ke depan.
Baca juga: Kenapa Pejabat Sering Ngomong Gak Jelas? Atau Memang Gak Paham?
Pengetahuan yang didapat dari membaca memungkinkan seorang pemimpin untuk melihat gambaran besar dan merencanakan langkah-langkah yang akan berdampak jangka panjang, bukan sekadar solusi instan yang hanya terlihat bagus di permukaan.
Ketika 'Asbun' Jadi Landasan Kebijakan, Risikonya Bukan Main-Main
Risiko paling nyata dari pejabat yang tidak membaca adalah lahirnya kebijakan yang dangkal dan asbun alias asal bunyi. Saya kutip frasa ini dari sebuah artikel yang secara spesifik menyoroti pentingnya literasi bagi kepala daerah agar tidak asal bicara. Tanpa wawasan memadai, seorang pejabat bisa saja mengeluarkan peraturan yang kontradiktif, membingungkan masyarakat, atau bahkan berbenturan dengan hukum yang sudah ada.