Lihat ke Halaman Asli

Anastasya Pratiwi

Teknologi Pangan | Penulis | Penerjemah

Bangkai, Belatung, dan Darah

Diperbarui: 25 Maret 2025   21:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Human eye photo (Sumber: Unsplash/takwa abdo)

Berkebutuhan khusus. Vonis tersebut seakan menjadi batu sandungan bagi dunia Jessi sejak kecil. Gagu, tiada suara yang terdengar dari mulut kecilnya. Namun, tak seorangpun tahu perempuan mungil itu memiliki kondisi yang langka. Tidak juga Mamanya.

"Jessi! Ke kampus?" Cik Lili menyapa sambil menggendong bayinya. Anggukan demi anggukan dan menutupi wajah dengan masker medis adalah senjata untuk membentengi dirinya.

"Hati-hati, ya, Jessi...," Ustazah Cika melambaikan tangannya saat tengah menyerbu penjaja sayur keliling. Wanginya menenangkan kali ini, pikir Jessi.

Langkah kaki seribu buru-buru dihentakkannya saat melintasi tempat mangkal Bu Neni, Neng Ija, dan Nona Grida. Sekilas diliriknya para ibu penguasa opini kampung itu. Mata mereka melotot, namun segera dikamuflase dengan senyum tipis.

"Eh, cah ayu!" Bu Neni melembutkan suaranya bak putri keraton.

"Mangga atuh, mampir!" Neng Ija berseru, tampak ramah namun penuh arti.

"Jangan sampai kesandung got, Jessi!" Nona Grida berucap datar, tegas, dan dingin.

Huhhhh... Pagi-pagi udah bikin rusuh aja!

***

Bangkai!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline