Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Mistifikasi Politik di Pilkada Jakarta

Diperbarui: 28 Oktober 2016   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mungkin hanya di Indonesia bahwa fenomena kontestasi politik seperti Pilkada atau Pilpres, para kontestan selalu menyempatkan diri untuk melakukan ziarah ke makam-makam pahlawan nasional, tokoh agama atau tokoh masyarakat. Mengunjungi kuburan seakan menjadi prosesi “wajib” yang harus dijalankan oleh setiap kontestan politik, entah untuk sekedar simbol budaya, mistifikasi, pencitraan, atau sekedar memperoleh pengakuan masyarakat. 

Kegiatan yang dilakukan para kontestan seperti ini sudah dilakukan sejak dahulu, siapapun dia, darimanapun partainya, apapun latar belakang agamanya, ziarah kubur seakan mampu membawa dampak “legitimasi” politik rakyat bagi dirinya. Saya kira, tradisi mistifikasi politik ini selalu dijalankan dari generasi ke generasi.

Seakan ada sebuah kekuatan supranatural yang kemudian diperoleh para kontestan politik setelah mereka melakukan ziarah kubur, sehingga mereka bertambah yakin bahwa kekuatan dirinya akan semakin diperhitungkan pihak lawan politik. Padahal, ziarah kubur sendiri dalam ajaran Islam, tidak mesti dilakukan pada saat-saat seseorang dalam keadaan mengikuti kontestasi saja, tetapi bisa dilakukan kapanpun tanpa harus terikat oleh suatu peristiwa tertentu. 

Bisa jadi, bahwa lawatan ke kuburan bagi para kontestan ini justru karena ada “bisikan mistik” dari orang-orang dekatnya agar “meminta restu” kepada para tokoh dan pejuang terdahulu supaya dirinya dimuluskan dalam segala jalan dalam menghadapi sebuah kontestasi politik. Politik yang rasional seperti di Indonesia memang terkadang tidak akan bisa lepas dari realitas masyarakatnya yang masih menghargai dan mempercayai segala sesuatu yang berkait erat dengan proses mistifikasi.

Hampir dipastikan, bahwa “kekuasaan” dalam pengertian masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya berasal secara hakiki dari dalam diri manusia itu sendiri, sehingga seseorang secara penuh dapat menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi orang lain. 

Kekuasaan dalam pandangan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, justru bersumber dari sesuatu yang berada diluar sana, bersifat “ilahiah” yang diturunkan kepada benda atau manusia sehingga ketika kekuasaan diperoleh manusia, dia akan memiliki kasekten yang didapat melalui berbagai aktivitas ritual yang telah dijalankannya. 

Salah satunya adalah dengan mendatangi kuburan yang dianggap mampu menciptakan kekuatan kharismatis kepada dirinya. Kedengarannya memang agak sedikit aneh, ditengah hiruk-pikuk modernisasi dan kapitalisasi, justru tradisi “memohon restu” kepada para tokoh yang telah tiada menjadi simbol pengikat bagi para kontestan dengan masyarakat yang akan memilihnya.

Kita belakangan sudah menyaksikan, di Pilkada Jakarta masing-masing kontestan menyempatkan diri sebelum dilakukan pemilihan berziarah ke makam-makam tokoh nasional. Calon pejawat Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sudah terlebih dahulu menyambangi makam Bung Karno di Blitar bersama para elite parpol pengusung. 

Cagub lainnya, Agus Harimurti Yudhoyono lebih memilih  berziarah ke makam Si Pitung di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat. Sedangkan cagub DKI Anies Baswedan berbeda lagi, dia mengunjungi makam Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Ketiga cagub DKI Jakarta ini seakan ingin menunjukkan, bahwa kekuasaan yang nanti akan diperolehnya tidaklah sepenuhnya bersumber dari dirinya sendiri, tetapi justru semakin diperkuat oleh kekuatan “tak kasat mata” yang diperoleh melalui lawatan mereka ke setiap pusara yang diziarahi.

Entah susah dirasionalisasikan, mengapa masing-masing calon kontestan ini berbeda-beda dalam memilih siapa seharusnya yang harus diziarahi kuburannya. Rasa-rasanya, ada dorongan dari pihak elite parpol berkuasa agar para kontestan ini berziarah kepada makam-makam yang ditunjuk. Ahok, karena diusung oleh PDI-P dan PDI-P merupakan parpol yang kental dengan Bung Karno, maka kesanalah restu yang dituju. 

Berbeda dengan parpol pengusung Anies, Gerindra, dimana Prabowo adalah sosok jenderal militer sehingga yang harus dimintai restu justru Anies sebagai cagub harus datang berziarah ke makam Soedirman. Agus Yudhoyono agak sedikit berbeda, karena dia lebih memilih tokoh legendaris Betawi Si Pitung yang dipilih untuk dikunjungi. Tapi yang jelas, perbedaan makam yang diziarahi juga menunjukkan adanya pengaruh kuat dari kalangan elite parpol yang berada di belakang para kontestan yang sedang bertarung tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline