Kita sering menyangka bahwa perselisihan lahir dari kebencian. Padahal, tidak jarang kebencian itu sendiri hanyalah bentuk lain dari kasih yang terlukai. Orang yang saling membenci biasanya pernah saling menyayangi. Orang yang bertengkar sengit sering kali dulu saling mempercayai. Cinta dan kasih, dalam intensitas tertentu, menyimpan potensi destruktif yang sama besar dengan kekuatan penyembuhannya.
Dalam teori psikologi hubungan interpersonal, cinta dan konflik berakar dari sumber yang sama: kedekatan emosional. Psikolog John Bowlby, melalui teori attachment, menjelaskan bahwa manusia membangun hubungan berdasarkan kebutuhan dasar untuk terhubung dan merasa aman. Namun, kedekatan ini memiliki sisi paradoks. Ketika seseorang terlalu terikat secara emosional, ia juga menjadi sangat rentan terhadap luka. Ketika rasa memiliki meluas, maka muncul pula rasa takut kehilangan. Dari sinilah salah paham kecil bisa menjelma menjadi perpecahan besar.
Cinta yang mendalam membuat seseorang berharap dimengerti secara total. Ia ingin kehadirannya diakui, niatnya dipahami tanpa banyak kata. Tapi justru di situlah titik rapuhnya: tidak ada manusia yang sepenuhnya mampu memahami orang lain. Empati punya batas, dan batas itu sering disalahartikan sebagai penolakan. Maka ketika seseorang yang kita cintai gagal memahami kita, rasa kecewa berubah menjadi kemarahan, dan kemarahan menjadi jarak.
Perselisihan antara dua orang yang dahulu saling mengasihi sering kali lebih menyakitkan daripada pertengkaran antar-musuh. Karena yang hilang bukan hanya rasa percaya, tapi juga makna dari kebersamaan yang pernah ada. Dalam dunia psikologi relasi, hal ini disebut betrayal trauma---trauma akibat dikhianati oleh orang yang justru menjadi sumber kepercayaan utama. Luka semacam ini lebih dalam dibanding kekerasan dari orang asing, sebab ia mengguncang dasar identitas dan rasa aman seseorang.
Dalam konteks sosial, kita bisa melihat hal itu terjadi di sekitar kita. Dua sahabat bisa berubah menjadi lawan karena salah paham yang tak sempat dijelaskan. Dua keluarga bisa bermusuhan karena setitik prasangka yang dibiarkan membesar. Dalam setiap konflik yang tampak di permukaan, sering tersembunyi jejak-jejak kasih yang dulu pernah tumbuh: pesan lama yang penuh sapaan hangat, foto saat berbagi tawa, atau video sederhana ketika saling menolong di hari biasa.
Hubungan Yai MIM dan Sahara, misalnya, bisa dibaca sebagai cermin dari paradoks ini. Jejak digital mereka menunjukkan bahwa keduanya pernah hidup sebagai tetangga yang saling menghormati, bahkan mungkin saling menyayangi dalam bentuk sederhana: berbagi makanan, saling bantu urusan kecil, bercakap di depan rumah tanpa prasangka. Namun cinta bertetangga itu berubah menjadi luka ketika salah satu merasa dilanggar. Bukan kebencian yang melahirkan perselisihan, tetapi rasa kasih yang tak tertampung dengan baik.
Dari sisi psikologi sosial, hal ini bisa dijelaskan dengan konsep cognitive dissonance dari Leon Festinger. Ketika dua keyakinan yang kita pegang bertentangan---misalnya, "aku menyayangi dia" tetapi juga "dia melukai aku"---maka jiwa manusia berusaha meredakan ketegangan dengan cara membangun narasi baru: "aku membencinya." Kebencian, dalam kasus ini, hanyalah mekanisme pertahanan diri untuk melindungi nilai kasih yang gagal menemukan jalan pulang.
Karenanya, perdamaian sejati tidak pernah datang dari pembuktian siapa yang benar, melainkan dari keberanian untuk mengakui bahwa keduanya pernah mencintai. Pengampunan tidak memerlukan keadilan terlebih dahulu; ia hanya butuh pengakuan bahwa di balik kesalahan, ada niat baik yang tersesat. Dalam pandangan Carl Rogers, unconditional positive regard---penerimaan tanpa syarat---adalah fondasi dari hubungan manusia yang sehat. Tanpa itu, kasih berubah menjadi kontrak, dan kontrak mudah retak ketika salah satu merasa dirugikan.
Kita hidup di zaman di mana perseteruan mudah viral, tetapi rekonsiliasi jarang mendapat ruang. Publik lebih senang menonton luka daripada pemulihan. Padahal, dari sisi psikologi perkembangan, manusia belajar dari modeling: apa yang dilihat akan diulang. Jika yang disiarkan hanya kebencian, maka generasi berikutnya akan belajar bahwa cinta tak mampu bertahan menghadapi perbedaan. Bahwa kasih selalu kalah oleh ego.
Padahal, kenyataannya justru sebaliknya. Kasih yang sejati tidak mati ketika disalahpahami. Ia mungkin terluka, tapi tidak sirna. Ia hanya menunggu ruang aman untuk kembali tumbuh. Ketika seseorang berani berkata "aku pernah menyayangimu meski kini kita tak sejalan", itulah bentuk paling jujur dari kematangan emosi. Dalam terminologi Erik Erikson, tahap terakhir perkembangan manusia disebut integrity versus despair---integritas melahirkan kedamaian, sedangkan penyesalan menumbuhkan keputusasaan. Orang yang mampu memaafkan berarti telah mencapai integritas batin: berdamai dengan masa lalu, tanpa menghapus kasih yang pernah ada.