Lihat ke Halaman Asli

Syaefunnur Maszah

Senior Human Capital Strategist, Sekjen Parsindo, Wakil Ketua Peradi DPC

Reaktualisasi Nilai Islam dan Demokrasi

Diperbarui: 25 Juni 2025   07:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Islam dan demokrasi. (Gambar: Eramuslim)

Islam, sebagai agama yang mengusung nilai-nilai universal, senantiasa mengajarkan prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks negara-bangsa modern, nilai-nilai tersebut menghadirkan tantangan sekaligus peluang untuk direaktualisasikan dalam kehidupan bernegara yang demokratis. Dinamika sosial, politik, dan ekonomi dewasa ini menuntut umat Islam tidak sekadar menjaga ajaran dalam ruang simbolik, melainkan mampu menerjemahkannya secara substantif dalam tata kelola yang berkeadaban.

Proses ini memerlukan upaya pembacaan ulang terhadap ajaran Islam dengan pendekatan yang kontekstual. Islam bukanlah sistem yang beku, tetapi ajaran yang hidup, yang ruhnya mampu menjawab kebutuhan zaman. Reaktualisasi nilai Islam bukan berarti mengganti fondasi, tetapi menghidupkan kembali semangat awal wahyu dalam ruang sosial kontemporer. Prinsip-prinsip seperti musyawarah, amanah, dan keadilan sosial merupakan fondasi etis yang sejalan dengan semangat demokrasi substantif.

Pemikiran Fazlur Rahman memberikan kerangka penting dalam hal ini. Dalam Islam and Modernity, ia mengajukan pendekatan “double movement” untuk memahami teks suci. Langkah pertama adalah menggali makna ayat dalam konteks historisnya, dan langkah kedua adalah menafsirkan pesan moralnya agar relevan dalam konteks kekinian. Pendekatan ini memungkinkan umat Islam menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan akar spiritualnya.

Demokrasi substantif, dalam pandangan ini, bukan sekadar mekanisme politik, tetapi arena etis untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Ketika nilai-nilai Islam hadir dalam praktik bernegara, maka demokrasi tidak hanya berjalan secara prosedural, melainkan juga berakar pada keadilan sosial, penghormatan atas hak asasi manusia, serta keberpihakan pada kaum yang lemah. Prinsip-prinsip ini sejatinya merupakan cerminan dari maqashid syariah, yaitu tujuan moral dari hukum Islam.

Namun, untuk menjembatani nilai-nilai Islam dengan praktik demokrasi modern, dibutuhkan keberanian intelektual dan keterbukaan wacana. Tantangan utama yang kerap dihadapi adalah sikap dogmatis dan ketakutan terhadap perubahan. Dalam banyak kasus, tradisi dijadikan pembatas bagi lahirnya pemikiran segar, padahal dalam sejarah Islam, dinamika ijtihad adalah elemen penting dalam menjaga relevansi ajaran.

Fazlur Rahman mengkritik kecenderungan stagnasi yang terjadi akibat tertutupnya ruang ijtihad. Ia menegaskan bahwa ketakutan terhadap pembaruan justru menjauhkan Islam dari semangat aslinya yang progresif dan solutif. Ijtihad bukanlah ancaman, melainkan instrumen untuk merespons realitas sosial yang terus berubah, dengan tetap berpijak pada nilai-nilai moral wahyu.

Reaktualisasi nilai Islam melalui maqashid syariah menawarkan pijakan moral bagi kebijakan publik yang lebih berkeadilan. Dalam konteks ini, etika Islam dapat menjadi rujukan dalam merancang kebijakan ekonomi yang berpihak pada kesejahteraan kolektif. Spirit zakat, larangan riba, dan dorongan untuk distribusi kekayaan secara adil merupakan prinsip yang sangat relevan dalam menghadapi persoalan kesenjangan sosial yang semakin akut.

Penting untuk dipahami bahwa reaktualisasi nilai bukan berarti menjauh dari tradisi, melainkan sebuah upaya untuk menyambungkan tradisi dengan aspirasi modernitas yang bermartabat. Nilai-nilai Islam dapat hadir tidak dalam bentuk formalisme hukum semata, tetapi melalui kontribusinya terhadap sistem yang menjunjung transparansi, tanggung jawab publik, dan keberpihakan pada keadilan.

Sebagian kalangan mungkin mengkhawatirkan bahwa pendekatan semacam ini melemahkan otoritas agama. Namun, justru sebaliknya, ia memberi napas segar agar ajaran Islam tidak kehilangan makna di tengah perubahan zaman. Menghidupkan kembali etika wahyu dalam kebijakan publik adalah bentuk kesetiaan tertinggi terhadap pesan ilahi.

Proses ini membutuhkan kolaborasi semua pihak: ulama, akademisi, pembuat kebijakan, serta masyarakat luas. Ruang dialog yang sehat dan terbuka harus dijaga, agar keberagaman pemikiran dapat memperkaya praksis beragama sekaligus memperkuat fondasi kebangsaan. Demokrasi dan Islam tidak berada dalam posisi yang berseberangan, justru dapat saling menguatkan jika keduanya dilandasi oleh niat luhur untuk menghadirkan keadilan dan kemaslahatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline