Ilmu administrasi negara dan manajemen publik lahir dari kebutuhan mendesak: bagaimana negara dan organisasi negara membuat kebijakan, mengatur, melaksanakan tata kelolanya dengan baik, melayani, dan menyejahterakan warganya. Woodrow Wilson menulis The Study of Administration (1887) untuk mempertegas perbedaan politik dan administrasi. Max Weber menyusun tipologi bureaucracy sebagai tulang punggung penyelenggaraan birokrasi modern. Herbert Simon lewat Administrative Behavior (1947) menjelaskan pentingnya metode ilmiah untuk memahami proses pengambilan keputusan dalam birokrasi.
Namun, arah perkembangan disiplin ini, terutama di Amerika Serikat, justru menyedihkan. Administrasi publik yang seharusnya menjadi ilmu negara dan institusi, kini terjebak dalam penelitian kuantitatif sempit ala psikologi: kepemimpinan (x) berpengaruh pada kepuasan pegawai (y). Penelitian yang tidak ada hubungannya dengan substansi administrasi negara yaitu negara dan tata kelolanya.
Dari Organisasi Negara ke Perasaan
Dalam dua dekade terakhir, jurnal-jurnal bergengsi seperti Public Administration, Public Administration Review, JPART, hingga Public Personnel Management, penuh dengan penelitian pola x y.
Contohnya:
Public Administration (2023): "Not too narrow, not too broad: Linking span of control, leadership behavior, and job satisfaction." Modelnya: rentang kendali (x) kepuasan kerja (y).
Public Administration Review (2024): "Give, take, or match? Styles of reciprocity, job satisfaction..." Modelnya: gaya timbal-balik (x) kepuasan kerja (y).
Public Personnel Management (2023): "Public Service Motivation and Job Satisfaction Amid COVID-19." Modelnya: PSM (x) kepuasan kerja (y).
International Journal of Public Administration (2025): "How Perceived Organizational Politics Moderates Servant Leadership and Performance." Modelnya: servant leadership (x) kinerja bawahan (y), dengan politik organisasi sebagai moderator.
Semua sama: ganti-ganti istilah x, ganti konteks, tapi y-nya selalu kepuasan atau motivasi.