Korupsi telah lama menjadi penyakit kronis dalam tata kelola ekonomi Indonesia. Dalam perspektif ekonomi kelembagaan, korupsi bukan sekadar pelanggaran moral, melainkan kegagalan institusi dalam menegakkan aturan main dan mengatur insentif. Institusi ekonomi yang lemah baik formal seperti undang-undang, maupun informal seperti norma budaya menciptakan peluang penyimpangan yang merusak efisiensi pasar dan keadilan sosial. Ketika pejabat publik memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, kontrak sosial antara negara dan warganya runtuh. Akibatnya, biaya transaksi meningkat, ketidakpastian hukum melebar, dan daya saing nasional menurun. Analisis kelembagaan menegaskan bahwa kemajuan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh akumulasi modal atau sumber daya alam, tetapi oleh kualitas institusi yang menegakkan transparansi, akuntabilitas, dan kepastian hukum. Korupsi, dalam konteks ini, adalah gejala ketidakmampuan institusi untuk memberikan insentif yang mendorong perilaku jujur dan produktif.
Salah satu dampak paling kasat mata adalah pengalihan dana publik. Ketika pejabat atau birokrat korup menyelewengkan anggaran, dana yang seharusnya dialokasikan untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan tersedot ke proyek fiktif atau rekening pribadi. Ekonomi kelembagaan menjelaskan fenomena ini melalui konsep "principal-agent problem": rakyat sebagai pemilik kedaulatan (principal) kesulitan mengawasi pejabat (agent) karena asimetri informasi. Lemahnya mekanisme pengawasan dan sanksi memperbesar peluang penyimpangan. Dampaknya, produktivitas jangka panjang menurun karena jalan, sekolah, dan rumah sakit yang seharusnya mendukung pertumbuhan tidak pernah terealisasi. Kepercayaan publik kepada pemerintah pun terkikis, menciptakan lingkaran setan di mana partisipasi masyarakat dalam pengawasan kian melemah, sehingga korupsi makin subur.
Korupsi juga menjadi hambatan investasi, baik asing maupun domestik. Investor membutuhkan kepastian hukum, kontrak yang ditegakkan, dan birokrasi yang efisien. Di negara dengan indeks persepsi korupsi yang rendah, investor khawatir akan "biaya tak terduga" berupa suap dan pungutan liar. Menurut teori ekonomi kelembagaan, investasi jangka panjang hanya berkembang ketika hak properti terlindungi dan aturan permainan dapat diprediksi. Korupsi merusak prasyarat tersebut, membuat Indonesia kalah bersaing dengan negara yang memiliki tata kelola lebih bersih. Akibatnya, aliran modal yang dibutuhkan untuk inovasi, teknologi, dan lapangan kerja tersendat, menekan potensi pertumbuhan jangka panjang.
Dari sisi distribusi, korupsi memperparah ketimpangan ekonomi. Ketika sebagian besar kekayaan nasional jatuh ke tangan elite yang memiliki akses ke birokrasi, kesenjangan antara kaya dan miskin melebar. Institusi yang seharusnya menjamin pemerataan malah dikooptasi oleh kepentingan sempit. Hal ini sesuai dengan pandangan Douglass North bahwa institusi yang "extractive"memfasilitasi pengambilan rente oleh kelompok kecil---menghambat pembangunan inklusif. Ketidaksetaraan yang lahir dari korupsi bukan hanya masalah moral, tetapi juga mengancam stabilitas politik dan sosial, yang pada gilirannya menurunkan kepercayaan investor dan menambah biaya transaksi ekonomi.
Korupsi meningkatkan biaya bisnis secara sistemik. Perusahaan terpaksa mengalokasikan dana untuk suap demi mendapatkan izin, kontrak, atau perlindungan hukum. Dari kacamata kelembagaan, ini adalah bentuk "perverse incentive": aturan formal mungkin ada, tetapi aturan informal budaya suap lebih dominan. Akibatnya, pelaku usaha yang patuh aturan kalah bersaing dengan mereka yang mampu "membeli" kemudahan. Efek lanjutannya adalah efisiensi ekonomi yang menurun dan hilangnya motivasi inovasi, karena keberhasilan bisnis tidak lagi ditentukan oleh kualitas produk, melainkan kedekatan dengan penguasa.
Dampak korupsi juga terasa pada kualitas layanan publik. Ketika dana untuk pendidikan dan kesehatan tergerus, produktivitas tenaga kerja melemah. Dalam kerangka kelembagaan, negara gagal menyediakan barang publik (public goods) yang menjadi fondasi pertumbuhan, seperti pendidikan yang merata dan layanan kesehatan terjangkau. Tenaga kerja yang kurang sehat dan kurang terdidik mengurangi daya saing Indonesia di pasar global. Lingkaran ini memperkuat argumentasi bahwa kualitas institusi, bukan sekadar besaran anggaran, yang menentukan hasil pembangunan.
Ketidakpercayaan investor dan pelaku bisnis menjadi konsekuensi logis. Citra negara di mata internasional merosot ketika korupsi dianggap sebagai norma. Dalam perdagangan global, reputasi institusional sama pentingnya dengan tarif dan pajak. Negara yang gagal menekan korupsi akan menghadapi "country risk premium", di mana biaya pinjaman dan investasi lebih tinggi karena dianggap berisiko. Investor jangka panjang yang mengutamakan stabilitas akan menahan modal, memaksa Indonesia mengandalkan pembiayaan yang lebih mahal dan jangka pendek.
Pembangunan infrastruktur pun tak luput. Korupsi dalam proses tender memicu penundaan proyek, pembengkakan biaya, dan mutu rendah. Dari sudut ekonomi kelembagaan, lemahnya kontrak dan pengawasan memungkinkan pemenang tender mengurangi kualitas material atau menaikkan harga. Akibatnya, infrastruktur yang seharusnya mendorong produktivitas nasional justru menjadi beban fiskal. Efek ini merembet ke pemanfaatan sumber daya alam: perjanjian tambang atau hutan yang korup mengakibatkan eksploitasi berlebihan dan hilangnya penerimaan negara.
Mengatasi korupsi memerlukan reformasi kelembagaan menyeluruh. Pertama, penguatan aturan formal: perundang-undangan antikorupsi harus ditegakkan tanpa pandang bulu, dengan sanksi yang pasti dan transparan. Kedua, perbaikan aturan informal: budaya toleransi terhadap suap harus diganti dengan norma integritas melalui pendidikan, keteladanan pemimpin, dan partisipasi masyarakat. Ketiga, peningkatan kualitas birokrasi: proses perizinan yang sederhana dan digitalisasi layanan publik akan mengurangi peluang pertemuan tatap muka yang rawan suap. Keempat, dukungan politik: tanpa komitmen elit, reformasi hanya akan menjadi slogan.
Dalam perspektif ekonomi kelembagaan, keberhasilan pembangunan Indonesia bergantung pada kualitas institusi. Korupsi bukan sekadar persoalan individu rakus, tetapi cerminan struktur insentif yang salah dan lemahnya penegakan hukum. Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan hanya mungkin terwujud jika Indonesia mampu memperkuat institusi formal dan informalnya: menegakkan supremasi hukum, melindungi hak properti, dan menciptakan budaya birokrasi yang transparan. Tanpa itu, setiap upaya meningkatkan investasi, memperluas lapangan kerja, dan memanfaatkan kekayaan alam akan selalu terbentur pada tembok korupsi yang menggerogoti fondasi ekonomi.