Tagihan royalti atas lisensi musik atau lagu mulai menghantui para pengusaha restoran dan kafe. Kasus Mie Gacoan menjadi titik pembuka bagi restoran dan kafe untuk bersiap merogoh saku lebih dalam.
Sehingga musik di kafe atau di restoran tidak lagi bisa disetel atau disajikan secara cuma-cuma untuk mengiringi dan menghibur aktivitas kerja kru dan pengunjung yang sedang menunggu pesanan atau tengah menikmati makan dan minum.
Tetapi ada satu strategi yang seharusnya bisa diterapkan oleh restoran dan kafe agar terbebas dari pembayaran royalti musik atau lagu.
Ini bukan tentang ketidakpatuhan. Juga bukan tentang nilai ekonomi. Semua ini tentang aturan hukum yang dalam praktiknya sering kali diakal-akali melalui diksi.
Saat peraturan hukum dibuat berdasarkan kata sepakat di ruang-ruang legal, ternyata sesekali terdengar narasi bahwa pasal bisa dipesan atau bisa diakal-akali.
Jika masih ingat misalnya aturan yang menempatkan sebaris diksi "... berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" sebagai syarat untuk calon Presiden dan Wakil Presiden, yang sempat membuat gaduh jagat maya dan faktanya proses tersebut terbukti melanggar etik--merupakan proses melakukan judicial review dengan mengubah (mengakal-akali) aturan lewat diksi.
Kemudian sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa aturan hukum lewat pasal-pasal yang di dalamnya terdapat diksi-diksi tertentu digunakan untuk menjerat dan memenjarakan seseorang atau sekelompok orang. Salah satu kasus teranyar yang cenderung mengarahkan status hukum melalui diksi dalam pasal tertentu adalah kasus impor gula terhadap Tom Lembong.
Berdasar aturan lisensi dalam SK Kemenkumham No.HKI.2-OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu Kategori Restoran, tarif lisensi untuk memutar musik di restoran atau kafe sebesar Rp 120.000/kursi/tahun, maka restoran dan kafe lesehan yang tidak memakai kursi seharusnya tidak terkena kewajiban membayar royalti.
Bagi restoran dan kafe lesehan mengacu pada aturan dengan diksi kursi, terlebih besaran royalti yang dikenakan tidak menyebut akumulasi jumlah pengunjung atau konsumen, dari sudut pandang bahasa akan terbebas dari tagihan pembayaran royalti. Sekali lagi ini bukan ketidakpatuhan. Juga bukan akal-akalan. 'Rp 120.000/kursi/tahun' bunyi aturannya demikian.
Dengan logika hukum tersebut, restoran dan kafe lesehan bisa menjadi strategi yang dapat diterapkan oleh pengelola restoran dan kafe jika ingin terbebas dari tagihan pembayaran royalti.