Lihat ke Halaman Asli

Sulasmi Kisman

Warga Ternate, Maluku Utara

MDPT, Ruang untuk Kembali Belajar

Diperbarui: 19 Agustus 2022   05:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Jadikan setiap tempat sebagai sekolah dan jadikan setiap orang sebagai guru-Ki Hajar Dewantara

Tak terasa, genap lima tahun menjadi pengajar. Pekerjaan yang tak mudah. Rutinitas berhadapan dengan anak-anak didik, menyiapkan bahan ajar, memberikan pengarahan, hingga ikut belajar bersama tentang satu materi dan mempraktikannya dalam kehidupan keseharian. Hal yang berkesan sekaligus mendebarkan.

Yang paling sulit adalah dalam menjalani proses pembelajaran. Dapatkah seorang pengajar menjadi teladan atau contoh bagi anak didiknya? Sungguh pertanyaan sulit! Dapatkah pengajar menjadi sumber motivasi bagi mahasiswanya? Dalam praktiknya, semua dihadapkan oleh pelbagai tantangan.

Guru atau pengajar sebagaimana istilah bahasa Jawa adalah digugu lan ditiru. Ringkasnya, pengajar harus menjadi panutan atau dapat memberikan contoh yang dapat diteladani. Berat, tidak mudah semacam ada beban tersendiri yang di pikul di pundak. Terlebih ketika era disrupsi, pemanfaatan teknologi merebak, berkembangnya berbagai platform digital untuk pembelajaran. Era keterbukaan informasi dan revolusi industri 4.0 hingga society 5.0 juga menjadi tantangan baru. Belum lagi perlunya melakukan adaptasi terhadap kurikulum.

Lulusan Perguruan Tinggi saat ini diharapkan memiliki kecakapan yang komplit: cakap literasi data, teknologi dan memiliki kecakapan literasi manusia serta berakhlak mulia berdasarkan pemahaman keyakinan agamanya. Adapun literasi data adalah pemahaman untuk membaca, menganalisis, menggunakan data dan informasi (big data) di dunia digital.  Literasi teknologi adalah pemahaman cara kerja mesin dan aplikasi teknologi (coding, artifisial intelligent dan engginerring principels). Sedangkan literasi manusia terkait dengan pemahaman tentang humanities, komunikasi dan desain.

Jalan Panjang Kurikulum Indonesia

Sekadar menengok rekam historis, ada jalan panjang kurikulum di Indonesia. Sejak zaman pasca kemerdekaan hingga kini, di era kampus merdeka.

Di mulai dari  kurikulum 1947, "Rentjana Pelajaran 1947" yang lahir pada masa kemerdekaan. Dimana kurikulum ini juga dikenal dengan "leer plan" yang artinya rencana pelajaran. Orientasinya mengacu pada pendidikan pikiran, yang diutamakan adalah pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.

Selanjutnya ada penyempurnaan pada 1952. Dikenal dengan kurikulum 1952 "Rentjana Pelajaran Terurai 1952", kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Ciri khasnya, setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Beranjak ke 1960-an, kurikulum disempurnakan menjadi kurikulum 1964, Rentjana Pendidikan 1964. Pendidikan dipusatkan pada program Pancawardhana yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan dan jasmani.

Selanjutnya kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti dan keyakinan beragama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline