Di era digital, informasi mengalir deras---mulai dari yang akurat hingga yang menyesatkan. Fenomena post-truth, di mana fakta objektif kalah dari emosi dan keyakinan pribadi, telah merasuki berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia kesehatan.
Pertanyaannya, apakah tenaga kesehatan, khususnya perawat, cukup siap menghadapi "badai hoaks" yang bisa membahayakan pasien?
Perawat adalah garda terdepan dalam pelayanan kesehatan. Mereka berinteraksi langsung dengan pasien dan keluarga, menjadi sumber informasi, dan sering kali menjadi rujukan pertama saat ada keraguan. Namun, peran vital ini kini diuji.
Banyak pasien yang datang dengan informasi salah dari media sosial, seperti pengobatan alternatif yang tidak terbukti, teori konspirasi tentang vaksin, atau mitos kesehatan lainnya.
Ini menciptakan dilema etis: bagaimana perawat bisa memberikan perawatan terbaik jika pasien menolak saran kesehatan berdasarkan informasi yang salah?
Kesiapan perawat menghadapi tantangan ini tidak bisa dianggap remeh. Dibutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan kesehatan.
Perawat harus memiliki literasi digital yang kuat, kemampuan membedakan sumber informasi tepercaya dan tidak, dan keterampilan komunikasi yang efektif.
Mereka harus bisa menjelaskan fakta kesehatan dengan cara yang mudah dimengerti, tanpa menggurui atau merendahkan keyakinan pasien. Tujuannya bukan untuk berdebat, melainkan untuk membangun kepercayaan dan memberikan pemahaman yang benar.
Pendidikan keperawatan modern harus memasukkan kurikulum yang relevan. Mahasiswa perawat perlu diajarkan cara mengidentifikasi hoaks, mengkritisi informasi yang beredar, dan menggunakan platform digital secara bijak.
Selain itu, pelatihan berkelanjutan bagi perawat yang sudah bekerja sangat penting. Ini bisa berupa workshop tentang etika di era digital atau sesi diskusi tentang cara menangani pasien yang termakan hoaks.