Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ayesha

Mahasiswa yang belajar di Universitas pilihan ke 2

Kapitalisme dan Krisis Lingkungan: Musuh dalam Selimut

Diperbarui: 21 April 2025   09:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pernahkah anda mendengar berita bahwa suhu bumi mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, atau berita tentang naiknya level air laut akibat melelehnya es di kutub, atau berita tentang rusaknya lapisan ozon akibat gas rumah kaca?. Tidak bisa dipungkiri bahwa semua itu berhubungan dengan suhu, iklim bahkan lingkungan di seluruh belahan bumi yang mengalami perubahan. Dengan kata lain perubahan ini mengarah pada kerusakan tempat hidup kita. Dan jika tidak dicegah, maka pada satu titik kerusakan lingkungan akan terlalu parah hingga menyelamatkannya pun hanyalah angan-angan.

Jika ditelusuri secara sejarah, penelitian awal tentang perubahan iklim dilakukan pada masa revolusi industri, oleh Svante Arrhenius yang mengemukakan bahwa hasil dari pembakaran batu bara mengakibatkan peningkatan jumlah karbon dioksida di udara. Pada tahun 1957, seorang ilmuwan asal Amerika Serikat bernama Charles Keeling memulai penelitian tentang tingkat konsentrasi karbon dioksida di atmosfer bumi. Sementara itu, pada tahun 1997, istilah pemanasan global atau global warming mulai dikenal luas berkat Wallace Smith Broecker. Ia menyatakan bahwa pembakaran bahan bakar fosil berpotensi merusak bumi secara bertahap.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa dengan kemajuan teknologi, terutama pada masa revolusi industri, mulai memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Seperti contoh penggunaan mesin pada bidang industri, memberikan dampak berupa menaikkan polusi udara, munculnya kendaraan bermesin juga meningkatkan polusi udara, dan pembabatan hutan untuk membangun industri membuat pohon yang seharusnya menyerap karbon dioksida menjadi tidak bisa, dikarenakan pohonnya sendiri tidak ada. Polusi udara yang berlebihan dan intensitas industri membuat efek gas rumah kaca semakin besar, berujung pada kerusakan lapisan ozon. Lapisan ozon memiliki fungsi untuk menangkis atau menurunkan intensitas panas matahari agar kelembaban dan suhu bumi menjadi stabil.

Dampak lingkungan di atas sayangnya masih berlanjut sampai sekarang, hingga menjadikan kerusakan lingkungan menjadi masalah yang memprihatinkan dan perlu segera diatasi.

Lalu apa korelasi masalah lingkungan dengan kapitalisme?. Kapitalisme - yang didefinisikan sebagai produksi untuk keuntungan bagi pasar yang kompetitif - adalah sistem ekonomi yang di dalamnya memiliki motif untuk memaksimalkan keuntungan pribadi dan meminimalkan kerugian. Kekuatan kapitalisme terlihat dalam produktivitas dan tingkat pertumbuhannya yang mengesankan. Logika memaksimalkan keuntungan mendorong para produsen untuk mengkhususkan diri pada apa yang paling mereka kuasai dalam produksi dan berinvestasi dalam teknologi terkini untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Motif memaksimalkan keuntungan juga memberikan insentif bagi para pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dalam skala besar guna mengoptimalkan keuntungan. Didorong oleh kompetitif pasar dan revolusi industri, perusahaan merasa perlu untuk berinvestasi dalam teknologi pemotongan biaya, yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan keuntungan ekonomi lebih besar dengan cara yang lebih efisien. Semua ini mengarah pada siklus efisiensi, produktivitas, dan keuntungan yang optimal. 

Contoh keberhasilan dalam hal tingkat pertumbuhan banyak terdapat dalam sejarah kapitalisme modern. Perkembangan industri besar-besaran di Inggris pada abad ke-18 dan ke-19, Amerika Serikat sebagai pengembang kapitalis awal sebelum dua Perang Dunia yang menghancurkan, pertumbuhan tingkat yang luar biasa di Eropa Barat (yaitu Jerman, Perancis, Italia) di era pasca perang yang diikuti oleh Jepang dalam setengah abad terakhir, kebangkitan Macan Asia Timur dan raksasa Tiongkok baru-baru ini adalah contoh nyata dari perkembangan ekonomi yang menakjubkan dalam kapitalisme modern.

Jadi apa masalahnya? Lagi pula, jika kapitalisme telah sangat berhasil dalam memproyeksikan dirinya sebagai mesin produktivitas dan pertumbuhan, mengapa harus disalahkan atas kerusakan lingkungan? Di sinilah dinamika inti kapitalisme yang menghasilkan kemakmuran, juga menyebabkan kerusakan. Kapitalisme membutuhkan pertumbuhan produksi yang tak terbatas agar tetap stabil, meningkatkan standar hidup, dan menghasilkan lapangan kerja yang cukup bagi penduduk dunia yang terus bertambah. Produksi itu sendiri bergantung pada konsumsi. Produktivitas yang tinggi juga memerlukan konsumsi yang tinggi untuk memastikan bahwa proses produksi tidak terhambat. Oleh karena itu, konsumsi massal - atau konsumerisme - bukan sekadar fenomena budaya. Ia tertanam dalam prinsip inti kapitalisme sebagai sistem ekonomi. Semakin tinggi konsumsi, semakin tinggi produksi, semakin tinggi produksi, semakin tinggi penjualan, dan dengan penjualan yang lebih tinggi, semakin tinggi pula keuntungan yang dihasilkan, yang sebagian besar diinvestasikan kembali dalam keberlanjutan perusahaan atau unit bisnis.

Namun, jika kita hidup di planet yang terbatas dengan sumber daya alam dan ekologi yang terbatas yang seharusnya dilestarikan demi tujuan keberlanjutan, bagaimana kita dapat menyelesaikan kontradiksi ini? Jika daya dukung dunia tidak dapat menopang konsumsi dan produksi tanpa akhir, jelas ada kontradiksi yang dipertaruhkan di sini. Kontradiksi ini tentu saja menimbulkan pertanyaan yang lebih penting: bagaimana mendamaikan dilema mempertahankan sistem kapitalis yang memenuhi tingkat pertumbuhan yang diperlukan agar tetap stabil di satu sisi, dan sekaligus menahan bahaya lingkungan yang mengancam planet kita di sisi lain? 

Contoh nyata kontradiksi ini berupa perusahaan bahan bakar fosil. Perusahaan-perusahaan seperti Shell, ExxonMobil, dan BP merupakan simbol kapitalisme global yang terus mendorong eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, meskipun sudah banyak bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa pembakaran bahan bakar fosil adalah penyumbang utama emisi karbon dioksida dan pemanasan global. Di satu sisi, peran mereka sebagai penyedia bahan bakar masih terus diperlukan, karena tanpa mereka, sistem ekonomi akan terganggu dengan terhambatnya bidang transportasi dan distribusi. 

Dinamika pasar dalam kapitalisme tidak menyediakan mekanisme apa pun untuk mencegah perilaku ini; hal itu memerlukan beberapa bentuk intervensi non pasar baik oleh state actor maupun non-state actor. Usaha nyata para state actor berupa kebijakan dan perjanjian multilateral seperti Perjanjian Paris 2015, yang mengikat komitmen global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Beberapa pemerintah, seperti Norwegia dan Jerman, bahkan mulai mengalihkan investasi ke energi terbarukan serta menerapkan pajak karbon guna menekan emisi industri. Di sisi lain, non-state actor seperti Greenpeace, Fridays for Future, dan berbagai organisasi lingkungan lainnya secara aktif mengadvokasi perubahan melalui kampanye global, aksi massa, serta gugatan hukum terhadap perusahaan-perusahaan besar yang merusak lingkungan. 

Sebagai penutup, mekanisme pasar di bawah kapitalisme tidak memberikan cara untuk melestarikan lingkungan. Bagaimana tidak, Perusahaan terus-menerus terancam oleh persaingan pasar dan didorong oleh motif untuk memaksimalkan keuntungan pribadi dan meminimalkan kerugian. Hal ini mengakibatkan perusahaan untuk memangkas biaya dan mengoptimalkan laba. Dalam konteks ini, pelestarian lingkungan sering kali dianggap sebagai beban tambahan yang tidak menguntungkan secara ekonomi. Akibatnya, praktik-praktik seperti pembuangan limbah sembarangan, eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran, serta pengabaian terhadap emisi karbon menjadi hal yang sering dilakukan. Dengan demikian, lingkungan menjadi korban perilaku pasar yang kompulsif dari cara produksi kapitalis. Tanpa intervensi entitas non pasar seperti negara, organisasi internasional, dan kekuatan sosial, kapitalisme sebagai sistem ekonomi tidak akan melindungi planet kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline