Presiden Donald J Trump, T nya Tarif. Beberapa waktu yang lalu, dunia dihebohkan dengan kebijakan Trump, yaitu kenaikan tarif pada setiap barang impor. Walaupun bukan hal baru, yang membuat kebijakan ini dikecam banyak pihak, adalah kenaikan tarif rata-rata menjadi 22,5 persen, menurut Yale Budget Lab. Sebagai perbandingan, pada masa jabatan pertama Trump, tarif hanya dinaikkan sebesar 3% dari 1,5%.
Hal ini relevan dengan Proteksionisme. Proteksionisme sendiri adalah kebijakan pemerintah untuk melindungi ekonomi negara dengan membatasi perdagangan internasional, misalnya melalui tarif impor, kuota, dan regulasi, guna mengurangi persaingan dari luar negeri. Kebijakan ini biasanya diterapkan untuk mendukung industri dalam negeri, menjaga lapangan kerja, dan menyeimbangkan neraca perdagangan, terutama ketika negara menghadapi tekanan ekonomi global atau ketergantungan yang tinggi terhadap produk asing. Kebijakan ini bertentangan dengan perdagangan bebas yang meminimalkan pembatasan perdagangan oleh pemerintah.
Kebijakan proteksi dan tarif bukanlah hal baru bagi Amerika. Berdasarkan sejarahnya, mulai abad ke-18 hingga ke-19, Proteksionisme merupakan landasan kebijakan perdagangan AS. Sebagai contoh pada tahun 1828, Tarif untuk barang impor mencapai 45-48%. Belum selesai disana, tarif America menyentuh angka tertinggi yaitu mencapai 57% pada tahun 1898. Di satu titik yaitu pada awal abad ke-20, Amerika berpindah haluan menjadi kebijakan ekonomi terbuka, seperti memimpin pasar bebas dengan kesepakatan melalui organisasi seperti General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO). Akan tetapi, dalam wewenang Presiden Trump, kebijakan ini kembali kepada proteksionisme. Dengan contoh mengenakan tarif pada Kanada, China dan Mexico sebesar 25% untuk besi dan 10%5 alumunium.
Walaupun kebijakan ini dikecam banyak pihak, tapi alangkah baiknya jika kita mencoba mengerti sudut pandang seorang Trump. Presiden Trump mengklaim kenaikan drastis pada masa ini guna meningkatkan perekonomian Amerika dan meningkatkan jumlah pajak yang dikumpulkan. Selain itu, Trump juga berupaya mengurangi kesenjangan antara nilai barang impor dan ekspor Amerika Serikat ke negara lain. Dengan ini akan mengurangi ketergantungan warga Amerika terhadap produk luar negeri dan akan meningkatkan minat konsumen Amerika untuk membeli lebih banyak produk buatan Amerika.
Hal ini sangat mencerminkan Nasionalisme Ekonomi Trump dalam praktik kebijakannya. Nasionalisme Ekonomi sendiri merupakan ideologi yang mengutamakan kepentingan nasional dalam kebijakan ekonomi. Sebagai seorang presiden, terutama sebagai pemimpin sebuah negara Adidaya, tentu tidak ingin kedaulatan negara dan kehidupan rakyatnya sangat terintervensi oleh pihak luar. maka menurut saya merupakan hal yang wajar jika Trump meningkatkan tarif, terutama sebagai instrumen perlawanan terhadap ekspansi ekonomi dari China dan negara besar lainnya.
Sekarang mari kita lihat sudut pandang pihak lain. Pemberlakuan tarif oleh Amerika di bawah pemerintahan Presiden Trump berdampak luas pada ekonomi global, khususnya melalui tekanan inflasi. Karena tarif menaikkan biaya barang impor, Amerika mengalami kenaikan harga pada berbagai produk, yang selanjutnya, mengurangi daya beli domestik. Efek inflasi ini tidak terbatas pada Amerika; negara-negara lain, khususnya yang terlibat dalam perdagangan dengan Amerika, juga merasakan dampaknya. Misalnya, negara-negara seperti China, Kanada, dan Meksiko menghadapi kenaikan harga input untuk sektor manufaktur mereka, yang mengakibatkan perlambatan ekonomi yang lebih luas. Selain itu, tarif yang tinggi menyebabkan penurunan volume perdagangan internasional, yang memperlambat pertumbuhan ekonomi global. Penurunan aktivitas perdagangan terutama terlihat di negara-negara yang sangat bergantung pada pasar Amerika, seperti China, Kanada, dan Meksiko, yang mengalami prospek pertumbuhan yang lebih lemah sebagai akibat dari kenaikan tarif. Akibatnya, perdagangan global melambat, sehingga mengganggu hubungan ekonomi di berbagai kawasan. Tujuan utama lain di balik strategi tarif Trump adalah untuk mengurangi defisit perdagangan Amerika. Namun, penerapan tarif memicu tindakan balasan dari negara-negara yang terkena dampak, yang mengakibatkan efek tolak balik.
Asia Tenggara, terlebih Malaysia, sangat terpengaruh oleh kebijakan tarif perdagangan Trump, yang menimbulkan tantangan sekaligus peluang bagi negara tersebut. Gangguan pada rantai pasokan global, khususnya dalam industri seperti elektronik dan manufaktur otomotif, memaksa banyak perusahaan untuk mengevaluasi ulang lokasi produksi mereka. Malaysia, sebagai pusat utama produksi semikonduktor, mengalami pergeseran karena perusahaan berupaya menghindari beban tarif dengan merelokasi operasi ke Asia Tenggara. Pengalihan tempat produksi menjadi sorotan penting karena banyak perusahaan multinasional memindahkan produksi dari China ke Asia Tenggara. Malaysia diuntungkan dari pergeseran ini, dengan meningkatnya Foreign Direct Investment (FDI) di sektor-sektor utama seperti elektronik dan manufaktur otomotif. Namun, hal ini juga meningkatkan persaingan di kawasan tersebut, karena negara-negara seperti Vietnam dan Thailand berupaya menarik investasi serupa, yang menimbulkan perlombaan untuk proyek-proyek industri dan semakin menantang dinamika pasar. Pada saat yang sama, kenaikan biaya produksi akibat tarif memberikan tekanan tambahan pada ekonomi Asia Tenggara seperti Malaysia. Karena permintaan barang dari Amerika melonjak karena tarif atas produk-produk China, negara-negara Asia Tenggara menghadapi tantangan ganda, yaitu meningkatkan produksi sambil mengelola persaingan di pasar yang semakin padat. Hal ini menyebabkan meningkatnya ketegangan dalam bidang manufaktur regional, di mana negara-negara Asia Tenggara bersaing untuk mendapatkan peluang yang sama. Sementara relokasi operasi manufaktur ke Asia Tenggara menciptakan peluang untuk pertumbuhan, hal itu juga menimbulkan risiko, khususnya meningkatnya biaya dan inefisiensi dalam proses produksi.
Kebijakan "America First" Trump, yang memprioritaskan perlindungan industri Amerika, sering kali menempatkan tarif sebagai alat utama untuk mengurangi ketergantungan pada barang asing, terutama dari China. Dalam jangka pendek, Kebijakan ini menawarkan sejumlah manfaat bagi ekonomi Amerika. Tarif tersebut dimaksudkan untuk melindungi produsen Amerika dari impor asing yang murah, yang berpotensi merevitalisasi sektor industri Amerika dan menciptakan lapangan kerja dalam lingkup domestik. Karena perdagangan antara Amerika dan mitranya melambat, pertumbuhan ekonomi global kemungkinan akan menurun. Negara-negara berkembang, termasuk banyak negara di Asia Tenggara, menghadapi tantangan dalam mempertahankan volume perdagangan karena mereka terpengaruh oleh penurunan perdagangan internasional yang lebih luas. Negara-negara yang sangat bergantung pada ekspor ke Amerika, seperti negara-negara di kawasan Asia-Pasifik, mengalami kemunduran ekonomi. Penataan ulang rantai pasokan global juga menghadirkan tantangan, karena upaya untuk membangun ulang menyebabkan menurunnya efisiensi dan biaya produksi yang lebih tinggi. Hal ini berpotensi mendorong harga lebih tinggi bagi konsumen dan mengurangi daya saing perusahaan secara keseluruhan di wilayah yang terkena dampak. Selain itu, dampak geopolitik dari perang dagang yang berkepanjangan cukup signifikan. Negara-negara mungkin telah mulai menyelaraskan kembali strategi ekonomi mereka, membentuk aliansi perdagangan baru di luar lingkup Amerika-China. Di satu sisi, China berupaya agar tidak gentar terhadap kebijakan Amerika, dengan berupaya memperkuat posisinya dalam rantai pasokan, mengurangi ketergantungannya pada pasar AS, dan mengalihkan fokusnya ke rute perdagangan baru. Perubahan pada hubungan ekonomi ini akan memiliki konsekuensi jangka panjang bagi dinamika perdagangan global.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI