Lihat ke Halaman Asli

Menerjang Lautan, Meraih Mimpi

Diperbarui: 8 Oktober 2025   13:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bau cat baru yang bercampur dengan aroma deterjen adalah wangi pertama dari kebebasan Icha. Gadis dari kota kecil itu kini berdiri di tengah kamarnya yang sempit, sebuah ruangan di kos-kosan wanita yang menjadi istana pertamanya. Tidak ada lagi ibu yang berteriak dari dapur untuk segera mandi, tidak ada lagi adik yang meminjam buku tanpa izin. Di sini, di ruangan seluas empat kali tiga meter ini, Icha adalah ratunya.

Kebebasan itu datang bersamaan dengan sebuah notifikasi di ponselnya. Sebuah transferan dari Papa. Sejumlah uang yang, menurut Icha waktu itu, terasa seperti lautan. Lautan yang luas dan tenang, siap untuk dilayari dengan perahu-perahu kecil keinginannya. Icha tidak langsung berbelanja barang mewah. Keborosannya tidak sesadis itu. Ia memulai dari hal-hal yang terasa sangat "wajar" untuk seorang gadis yang memulai hidup baru.

Ia membeli lampu tidur berbentuk awan yang bisa mengubah warna, dengan alasan, "Supaya kamarnya tidak terkesan menyeramkan." Ia mencoba kopi di kafe dekat kampus yang harganya sepertiga makan siang, karena katanya, "Aku butuh suasana baru untuk belajar." Ia membeli buku novel bestseller yang sedang hits, "Ini investasi untuk bahasa dan imajinasiku." Setiap pengeluaran punya justifikasi yang masuk akal, sebuah alasan yang membuatnya merasa bahwa ia tidak memboroskan, melainkan "berinvestasi" pada kebahagiaannya yang baru.

Minggu pertama berlalu seperti angin sepoi-sepoi. Minggu kedua, Icha masih merasa sebagai seorang pelaut yang perkasa. Lautannya masih terlihat luas. Ia masih mentraktir teman-teman barunya sekali dengan alasan "perkenalan," dan masih membeli gantungan kunci lucu untuk setiap teman yang mengunjungi kamarnya.

Tapi di pertengahan bulan, sesuatu mulai berubah. Angin sepoi-sepoi itu berhembus lebih kencang, membawa awan gelap. Icha membuka aplikasi e-wallet-nya, bukan karena ingin berbelanja, tapi karena iseng. Angka yang tertera di sana membuatnya mengerutkan kening. Jauh lebih kecil dari yang ia perkirakan. "Ah, mungkin aku lupa mencatat beberapa pengeluaran," katanya pada diri sendiri, mencoba menenangkan hati yang mulai gelisah. Walaupun sebenarnya ia sangat gelisah. 

Beberapa hari kemudian, gelisah itu berubah menjadi ketakutan yang perlahan makin membesar. Ia pun akhirnya mulai membuat perhitungan sederhana di selembaran kertas. Ia mencatat semua pengeluaran yang ia ingat, dari yang terkecil hingga yang terbesar. Sepertinya masih banyak pengeluaran kecil yang ia lupakan. Walaupun ada beberapa pengeluaran yang mungkin ia lupakan, hasilnya tetap mengejutkannya. Lautan uangnya ternyata bukanlah lautan. Itu adalah sebuah kolam yang airnya sudah hampir habis, tersisa hanya genangan di tepian yang keruh.

Pikiran pertamanya adalah menelepon Papa. Jari-jarinya sudah melayang di atas kontak nama ayahnya. Tapi ia membeku. Ia membayangkan suara Papa di seberang sana, pasti dengan nada yang lembut dan penuh pengertian. "Uangnya habis, Nak? Nanti Papa transfer lagi." Tidak ada kemarahan, tidak ada kekecewaan. Dan justru itulah yang paling menyakitkan. Icha membayangkan wajah ayahnya yang harus ekstra kerja lembur, atau ibunya yang mungkin harus menunda belanja kebutuhan dapur hanya karena putrinya tidak bisa mengatur "lautan" kecilnya.

Rasa malu itu lebih berat dari rasa lapar. Ia tidak bisa. Ia tidak akan meminta tambahan uang. Ia harus bertahan.

Dalam keputusasaan, ia mengingat sesuatu. Sebuah rekening bank terpisah yang jarang ia sentuh. "Tabungan Mimpi," begitu ia menamainya. Itu adalah tabungan yang ia kumpulkan sejak SMP dari uang jajan yang ia sisihkan, uang hadiah ulang tahun, dan hadiah kelulusan yang lumayan banyak. Rencananya, uang itu akan digunakan untuk liburan ke Jepang bersama sahabatnya setelah mereka lulus kuliah nanti. Sebuah mimpi yang sudah ia genggam erat sejak lama.

Dengan tangan gemetar dan hati yang berat, Icha membuka aplikasi mobile banking. Ia menatap saldo "Tabungan Mimpi"-nya. Angka itu adalah simbol dari disiplin, harapan, dan masa depannya. Dan sekarang, ia harus merusaknya. Ia menghitung berapa yang ia butuhkan untuk bertahan hingga akhir bulan. Angka itu terasa seperti sebuah pengkhianatan.

Dengan mata yang mulai berair, ia menekan tombol transfer. Sebagian dari mimpinya ia pindahkan ke rekening utamanya, demi bertahan hidup di realitas. Notifikasi transfer yang muncul di layar bukanlah sebuah kelegaan. Itu adalah sebuah luka. Sebuah pengingat yang menyakitkan bahwa kebebasan punya harga, dan kebodohannya baru saja membayarnya dengan sepotong mimpinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline