Narator (Mira Lestari):
Puri Anggrek Elit punya aturan tak tertulis: jangan pernah terlihat lemah, dan jangan pernah biarkan tetangga tahu apa yang terjadi di balik pintu rumahmu. Lia Chandra menguasai aturan ini dengan sempurna---at least, begitulah yang ia pikirkan. Tapi rahasia punya cara untuk merayap keluar, seperti embun pagi yang menempel di daun. Dan rahasia Lia? Oh, itu bukan sekadar embun---itu badai yang siap menghancurkan segalanya.
Lia Chandra berdiri di dapur rumahnya yang megah, menatap ke luar jendela ke arah taman belakang. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui kaca, memantulkan kilau dari meja granit hitam yang harganya mungkin setara dengan mobil kecil.
Di tangannya, secawan kopi luwak---hadiah dari klien suaminya, Chandra---mengeluarkan aroma yang seharusnya menenangkan. Tapi pagi ini, jantung Lia berdetak tak karuan, dan bukan karena kafein.
Di luar, Jono sedang memangkas pohon mangga dengan gerakan yang lincah. Baju kaus putihnya sedikit basah oleh keringat, menempel di tubuhnya yang ramping tapi kekar.
Usianya baru 18 tahun, tapi ada sesuatu dalam caranya bergerak---penuh percaya diri, hampir menantang---yang membuat Lia sulit memalingkan pandang.
Ia tahu ini salah. Ia tahu ini berbahaya. Tapi setiap kali Jono melempar senyum kecil ke arahnya, rasionalitas Lia menguap seperti embun di bawah matahari Jakarta.
"Jono, hati-hati dengan ranting itu, ya," panggil Lia, suaranya dibuat serius tapi dengan nada genit yang tak bisa ia sembunyikan. Ia melangkah keluar ke teras, gaun sutra tipisnya berkibar lembut di angin pagi.
Jono menoleh, menyeka keringat dari dahinya dengan punggung tangan.
"Tenang, Mbak Lia. Saya udah biasa," jawabnya, dengan senyum yang membuat Lia merasa seperti gadis SMA lagi. "Mau saya beresin bunga-bunga di dekat kolam juga?"