Lihat ke Halaman Asli

Salmun Ndun

Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Harga Sebuah Teguran Haruskah Berujung Tersingkir Jabatan?

Diperbarui: 18 September 2025   05:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input gambar: tribunmedan.com

HARGA SEBUAH TEGURAN HARUSKAH BERUJUNG TERSINGKIR JABATAN?

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Media Tribunsumsel.com 16 September 2025 mengangkat sebuah berita yang menghebohkan publik, dimana Roni Ardiansyah seorang kepala sekolah SMPN 1 Prabumulih, Kecamatan Prabumulih, Sumatera Selatan, dicopot dari jabatannya usai diduga menegur anak seorang pejabat yang membawa dan memarkir mobil di lapangan sekolah. Peristiwa yang seolah sederhana ini justru menimbulkan gelombang reaksi luas, sebab yang dipertaruhkan bukan hanya jabatan seorang pendidik, tetapi juga martabat dunia pendidikan itu sendiri. Bagaimana mungkin sebuah teguran ber niat mendidik, menegakkan disiplin, dan menjaga ketertiban sekolah justru berbuah hukuman berat berupa pencopotan jabatan?

Input gambar: kompas.com

Kasus ini menggugah perhatian kita untuk merenungkan kembali posisi guru dan kepala sekolah dalam sistem pendidikan. Seorang pendidik dituntut menjadi teladan, menjaga aturan, dan melindungi ruang belajar agar tetap kondusif, namun ketika ketegasan itu berbenturan dengan kuasa, yang tumbang justru nurani pendidikan. Di titik inilah ironi itu lahir: teguran yang seharusnya dihargai sebagai wujud tanggung jawab moral, berubah menjadi "dosa petaka" yang membuat seorang kepala sekolah tersingkir dari kursinya.

Hal ini dapat kita lihat dari tiga perspektif yang saling berkaitan. Dari perspektif pendidikan, perspektif sosial, dan perspektif etika dan kepemimpinan. Tiga sudut pandang ini menegaskan bahwa persoalan yang tampak sederhana sesungguhnya menyimpan ironi besar bagi wajah pendidikan dan keadilan di negeri ini.

Pertama, bila ditinjau dari perspektif pendidikan, sebuah teguran sejatinya adalah bagian tak terpisahkan dari proses mendidik dan menegakkan aturan. Teguran bukan dimaksudkan untuk mempermalukan, melainkan menjadi sarana pembelajaran agar setiap peserta didik, tanpa kecuali, belajar memahami batasan, disiplin, dan tanggung jawab. Di sekolah, teguran adalah instrumen moral yang mengingatkan bahwa kebebasan harus berjalan beriringan dengan ketertiban. Namun, ketika sebuah teguran justru berujung pada pencopotan jabatan kepala sekolah, pesan mendidik yang terkandung di dalamnya seolah tereduksi menjadi persoalan kuasa.

Kedua, dari perspektif sosial, pencopotan kepala sekolah akibat tegurannya mencederai rasa keadilan dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan maupun pemerintahan. Publik melihat adanya ketidakadilan yang mencolok, karena muncul kesan bahwa aturan berlaku keras bagi rakyat biasa namun lunak bagi mereka yang memiliki kuasa atau status sosial tinggi. Ketika "anak pejabat" mendapat perlakuan istimewa sementara "anak rakyat biasa" harus tunduk pada disiplin, maka citra keadilan sosial yang menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat ikut tercabik. Situasi semacam ini berbahaya karena dapat melahirkan sinisme, ketidakpercayaan, dan bahkan apatisme masyarakat terhadap nilai-nilai hukum dan moral.

Ketiga, dari perspektif etika dan kepemimpinan, seorang kepala sekolah memang dituntut untuk tegas menjaga aturan, sebab ia bukan hanya pengelola administrasi, melainkan juga teladan moral bagi seluruh warga sekolah. Ketika sebuah teguran yang lahir dari tanggung jawab etik justru dibalas dengan pencopotan, hal itu menunjukkan adanya benturan serius antara nurani kepemimpinan dan kepentingan kuasa. Keputusan seperti ini tidak hanya meruntuhkan wibawa seorang pemimpin pendidikan, tetapi juga menodai makna kepemimpinan itu sendiri, yang seharusnya berakar pada keberanian menegakkan kebenaran, bukan tunduk pada tekanan eksternal.

Input gambar: tribunmadura.com

Dampak dari peristiwa ini pun tidak bisa dianggap remeh. Terhadap guru dan siswa, kasus ini menimbulkan rasa takut untuk menegakkan disiplin, karena ada bayang-bayang risiko dihukum ketika bersikap tegas. Terhadap masyarakat, kepercayaan terhadap keadilan perlahan memudar, sebab muncul kesan bahwa aturan hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Sementara terhadap pejabat terkait, publik memberi sorotan negatif yang menampilkan potret penyalahgunaan kuasa, seakan-akan kekuasaan bisa dengan mudah mengintervensi ranah pendidikan yang seharusnya steril dari kepentingan pribadi.

Dari peristiwa ini, terlepas dari benar atau tidaknya seluruh rangkaian persoalan, ada sejumlah pelajaran penting yang patut kita renungkan bersama. Pertama, tenaga pendidik perlu mendapat perlindungan dalam menegakkan aturan agar mereka tidak dihantui rasa takut kehilangan jabatan ketika menjalankan tanggung jawab moralnya. Kedua, teguran harus ditempatkan pada maknanya yang sejati, yaitu sebagai niat mendidik, bukan penghinaan. Ketiga, masyarakat perlu menumbuhkan budaya taat aturan tanpa memandang status sosial, sebab sekolah adalah ruang kesetaraan, di mana pelanggaran harus diperlakukan sama baik oleh anak pejabat maupun anak rakyat biasa.

Peristiwa atas permasalahan ini menjadi ajakan refleksi bagi kita semua: apakah kita masih rela membiarkan kuasa mengalahkan nurani pendidikan, ataukah kita berani berdiri untuk membela nilai kebenaran yang menjadi inti dari proses belajar. Pahamilah bahwa ketegasan seorang pendidik adalah cahaya disiplin dan bila cahaya itu dipadamkan oleh kuasa, maka gelaplah masa depan pendidikan. Semoga kasus ini membuka mata banyak pihak bahwa pendidikan hanya akan bermakna bila dijalankan dengan keberanian, keadilan, dan penghormatan pada martabat pendidik.(*)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline