Lihat ke Halaman Asli

Gender Seks dan Implementasinya

Diperbarui: 27 Mei 2025   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam kehidupan masyarakat modern, isu mengenai gender dan seks kian menjadi perbincangan penting, baik dalam ranah akademik maupun sosial. Banyak orang masih menyamakan makna antara "gender" dan "seks", padahal keduanya memiliki pengertian yang berbeda secara mendasar. Seks merujuk pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang ditentukan oleh aspek fisik seperti kromosom, hormon, dan organ reproduksi. Sementara itu, gender merupakan konstruksi sosial dan budaya yang mengacu pada peran, tanggung jawab, perilaku, dan identitas yang dilekatkan pada seseorang berdasarkan jenis kelaminnya.

Perbedaan antara seks dan gender inilah yang menjadi titik awal dari banyak ketimpangan sosial yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan. Secara biologis, seseorang tidak dapat memilih jenis kelaminnya, namun dalam konteks gender, masyarakat sering kali menetapkan peran yang dianggap "patut" dan "tidak patut" bagi laki-laki maupun perempuan. Misalnya, perempuan sering kali diidentikkan dengan peran domestik, seperti mengurus rumah tangga, sedangkan laki-laki diasosiasikan dengan kekuatan fisik dan peran kepemimpinan di ruang publik. Ketika seseorang menyimpang dari ekspektasi gender ini---misalnya laki-laki yang memilih menjadi penari balet atau perempuan yang menjadi mekanik---mereka sering menghadapi stigma atau penolakan sosial. Padahal, peran gender seharusnya bersifat fleksibel dan tidak kaku, karena setiap individu memiliki potensi dan bakat yang unik, terlepas dari jenis kelamin biologisnya.

Implementasi pemahaman yang keliru tentang gender telah melahirkan banyak ketidakadilan, seperti diskriminasi di tempat kerja, ketimpangan dalam akses pendidikan, serta marginalisasi kelompok minoritas gender. Di banyak negara, perempuan masih mendapatkan upah yang lebih rendah daripada laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Di sisi lain, kelompok LGBTQ+ juga kerap mengalami perlakuan tidak adil, bahkan kekerasan, hanya karena identitas gender atau orientasi seksual mereka tidak sesuai dengan norma mayoritas. Kondisi ini memperlihatkan bahwa masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan adil.

Namun, dalam beberapa dekade terakhir, kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender mulai tumbuh, ditandai dengan lahirnya berbagai gerakan feminisme, kebijakan afirmatif, dan kampanye edukatif di berbagai bidang. Dunia pendidikan mulai memasukkan perspektif gender ke dalam kurikulum, perusahaan mulai menerapkan kebijakan kesetaraan kesempatan, dan media pun secara perlahan mulai menampilkan representasi yang lebih beragam. Meski perubahan ini belum merata di semua tempat, tetapi langkah-langkah kecil ini sangat berarti dalam membentuk pola pikir masyarakat yang lebih terbuka dan toleran.

Mewujudkan pemahaman yang sehat tentang gender dan seks bukan sekadar tentang memperjuangkan hak-hak kelompok tertentu, tetapi tentang menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan setiap individu berkembang secara optimal. Saat kita menyadari bahwa gender bukan sekadar label yang melekat sejak lahir, tetapi bagian dari identitas yang hidup dan dinamis, kita bisa mulai membangun masyarakat yang lebih manusiawi---yang menghargai keberagaman, mendukung kebebasan berekspresi, dan menjunjung tinggi keadilan bagi semua.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline