Oleh Gunoto Saparie
Ketika kabar berpindah lewat senter telepon atau pesan singkat, bahwa Pipiet Senja telah meninggalkan dunia ini, sesuatu berhenti di dalam dadaku. Bukan karena ia seorang penulis senior sebagai penghuni daftar "besar", melainkan karena ia menapak hidup dengan luka, dan menuliskannya dengan keagungan lirih yang sering dilupakan: keberanian yang diam-diam.
Jika kita membayangkan sebuah senja sebagai masa peralihan: terang mengendap, gelap merangkak, maka nama Pipiet Senja adalah fragile sekaligus berlapis-lapis. Pipiet hadir dalam dunia sebagai Etty Hadiwati Arief, lahir di Sumedang pada 16 Mei 1956.
Ia kemudian memilih nama pena Pipiet Senja, yang menandakan pertemuan antara makhluk kecil (pipit) dan waktu penghabisan (senja), sebuah nama yang menegaskan bahwa ia tahu: kehidupan akan selalu mengantarnya ke titik akhir.
Kehidupannya bukanlah perjalanan ringan. Ia adalah penyintas thalassemia; setiap bulan, transfusi darah menjadi ritus wajib, tak kenal jeda.
Penyakit itu bukan sekadar bayang-bayang di belakangnya; ia menjadi teman sekaligus tantangan, seorang musuh yang harus dipahami, dinegosiasi, dan kadang diacuhkan agar ia tetap bisa menulis.
Banyak orang menyangka, atau berharap, seorang pemikul penyakit seperti itu akan menyurut dalam berkarya. Namun Pipiet berpijak di arah yang berlawanan. Baginya, menulis bukan sekadar karya, melainkan ruang hidup, tempat perlawanan senyap terhadap kehampaan dan kemustahilan.
Ia menulis sejak muda, memulai dari puisi yang dikirim ke radio-radio di Bandung. Kemudian ia merambat ke novel, cerpen, cerita anak, memoar, hingga tulisan motivasi. Ribuan cerpen dan ratusan novel tercatat sebagai bagian dari jejaknya. Di antara karya-karyanya yang dikenal: Lukisan Rembulan, Menggapai Kasih-Mu, Namaku May Sarah, Tembang Lara, Rembulan Sepasi, Merah Jenin: Kado Cinta untuk Palestina, Meretas Ungu, Langit Jingga Hatiku.
Dalam catatan perjalanan kreatifnya, Pipiet pernah menulis puisi "Jika Aku Pergi Jua" sebagai semacam wasiat, bahwa ia menyadari batas, bahwa hidup adalah rentetan kerangka waktu yang akan tiba-tiba ditutup. Naluri seorang seniman sekaligus manusia sakit itu bercampur: ia meneguhkan bahwa jika saatnya tiba, biarlah senyuman dan kenangan menjadi penutupnya, bukan ratapan yang panjang.
Ia menularkan virus menulis ke mana-mana: ke penulis-penulis muda, ke TKW (Tenaga Kerja Wanita) di Hong Kong, Malaysia, Taiwan, Singapura, bahkan ke luar negeri. Dalam panggung-panggung literasi dan seminar, ia tidak sekadar tampil sebagai pamflet karya, melainkan sebagai saksi bahwa tulisan bisa menjadi untaian harapan dalam kesakitan.