Lihat ke Halaman Asli

Akuisisi Kapal Induk ITS Garibaldi dan Ancaman Distorsi Geostrategi

Diperbarui: 22 September 2025   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kapal Induk ITS Giuseppe Garibaldi (Sumber Gambar: DEFENSE STUDIES)

Rencana akuisisi kapal induk eks Italia, ITS Garibaldi (C 551), oleh Indonesia menimbulkan perdebatan serius dalam diskursus pertahanan dan geopolitik maritim. Sebagai platform militer yang selama ini identik dengan simbol supremasi laut, kapal induk kerap dianggap sebagai puncak pencapaian kekuatan angkatan laut.

Namun, keputusan strategis untuk membeli atau mengoperasikan kapal induk bukanlah persoalan sederhana. Pertimbangannya tidak hanya bersifat teknis dan militer, melainkan juga berkaitan erat dengan geopolitik, geostrategi, ekonomi, serta arah kebijakan pertahanan jangka panjang.

Bagi Indonesia, negara kepulauan terbesar dengan visi Poros Maritim Dunia, rencana ini justru menghadirkan dilema besar: apakah keberadaan kapal induk benar-benar mendukung kepentingan maritim nasional, atau justru menimbulkan distorsi yang berbahaya bagi strategi pertahanan?

Untuk memahami persoalan ini, perlu ditinjau latar belakang ITS Garibaldi dalam sejarah militer Italia. Kapal ini dibangun pada awal 1980-an sebagai kapal induk ringan dengan kemampuan utama mengoperasikan helikopter anti kapal selam, dan kemudian dimodifikasi untuk mendukung pesawat tempur V/STOL seperti Harrier. Pada masa Perang Dingin, kapal ini menjadi salah satu instrumen proyeksi kekuatan Italia di laut Mediterania.

Namun, setelah hadirnya kapal induk Cavour yang lebih modern, Garibaldi dipensiunkan. Bagi Italia, pelepasan aset tersebut merupakan upaya rasional untuk mengurangi beban anggaran pertahanan. Bagi Indonesia, justru muncul pertanyaan mendasar: apakah kapal yang teknologinya sudah berusia puluhan tahun masih relevan dengan kebutuhan pertahanan di kawasan Indo-Pasifik yang sangat dinamis?

Dari perspektif geostrategi maritim, kapal induk merupakan simbol kehadiran global. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Inggris, Prancis, dan India menggunakannya sebagai instrumen untuk menegaskan proyeksi kekuatan hingga jauh ke luar batas teritorial mereka. Logika ini tidak serta-merta dapat diterapkan pada Indonesia.

Sebagai negara kepulauan yang berada di jalur perdagangan global, ancaman nyata yang dihadapi lebih banyak bersifat non-tradisional, seperti perompakan, penangkapan ikan ilegal, pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif, hingga potensi konflik di Laut Cina Selatan.

Kapal induk, yang secara fungsi lebih cocok untuk operasi proyeksi kekuatan jarak jauh, tidak sepenuhnya menjawab tantangan nyata tersebut. Sebaliknya, ada risiko bahwa orientasi pertahanan Indonesia bergeser ke arah simbolisme kekuatan semata, sementara kebutuhan riil diabaikan.

Persoalan teknis dan logistik memperkuat argumen ini. Mengoperasikan kapal induk membutuhkan biaya yang sangat besar. Tidak hanya pembelian awal, tetapi juga pemeliharaan, modernisasi, dan dukungan logistik jangka panjang.

Negara maju seperti Inggris atau Prancis sekalipun menghadapi dilema serius dalam mempertahankan kesiapan kapal induknya karena beban anggaran yang tinggi. Indonesia, dengan anggaran pertahanan yang terbatas dan kebutuhan modernisasi alutsista yang masih banyak, berisiko besar mengalami distorsi anggaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline