Selasa malam (14/10), sekitar ppukul 21.30 WIB saya baru bisa memasuki room diskusi online di sebuah platform media sosial. Sebenarnya diskusi tersebut telah berjalan sejak sekitar pukul 20.00 WIB. Ir. IChwanul Ihsan, seorang ahli Planalogi jebolan Universitas Bung Hatta, Padang, Sumatra Barat membuka live nya dengan mengundang kawan seperjuangan di masa mengabdi di instansi pemerintah. Adalah Ir. Irving Kahar, M.E., jebolan sebuah universitas di India, yang memulai perdiskusian banjir dengan soal-soal teknis ala sarjana teknik sipil. syahdan, saat saya memasuki room tersebut, didalamnya sudah ada Heri Susanto Abas (Lawyer, mantan dirut BUMD), Edwin Pratama Putra (mantan anggota DPD RI asal Riau), Fajar (Relawan Bangun Riau), Masril Adi (Pekanbaru Kota BErtuah), dan belakangan masuk Mawardi M. Zakaria (ASN di Pemko Pekanbaru). Setelahnya, saya sempatkan membuat pointer dan menulisnya. Usulan saya saat itu, saatnya Pemerintah Kota Pekanbaru besinergi dengan masyarakat membangun sebuah Satuan Tugas Non. ASN yang langsung di bawah komando Walikota Pekanbaru, menjadi mitra BPBD/DLHK, sehingga penanganan banjir dapat dilakukan secara bersama dan menyeluruh, baik jangka pendek, menengah, dan panjang.
Kita tahu, ketika hujan turun deras di atas kota Pekanbaru, air seolah menemukan rumahnya sendiri, bukan di sungai, melainkan di jalan-jalan, halaman rumah, bahkan di ruang tamu warga. Setiap musim hujan, peristiwa yang sama berulang. Genangan yang dulu hanya menutupi sebagian kecil jalan kini merambat, menaklukkan pusat-pusat ekonomi kota. Di sudut-sudut jalan protokol, orang berpayung menatap mobil-mobil yang melambat karena terjebak banjir, sementara di pinggiran kota, anak-anak bermain air di depan rumah yang sudah dikelilingi genangan. Pekanbaru seperti terjebak dalam lingkaran air yang tak kunjung surut.
Fenomena banjir di Pekanbaru bukan sekadar urusan curah hujan yang tinggi. Ia adalah cermin kompleksitas hubungan antara manusia, tata ruang, dan kebijakan. Kota ini tumbuh pesat, namun tidak semua pertumbuhan diikuti oleh penataan ruang yang bijak. Di bawah permukaannya yang kian padat, ada jaringan drainase yang sesak, sebagian tertutup bangunan, sebagian lain tersumbat oleh sampah. Ketika air mencari jalan pulang menuju Sungai Siak, sering kali jalannya telah diserobot beton dan aspal.
Secara topografis, Pekanbaru memang berada di kawasan dataran rendah yang beririsan langsung dengan sistem hidrologi Sungai Siak. Wilayah seperti Rumbai, Tenayan Raya, Payung Sekaki, dan Sail merupakan daerah yang secara alami memiliki elevasi rendah dan menjadi tempat pengumpulan air dari dataran yang lebih tinggi seperti Senapelan dan Marpoyan Damai. Dalam peta topografi yang disusun oleh instansi teknis seperti Dinas PUPR, pola aliran air kota ini sebenarnya cukup jelas: sebagian besar mengarah ke utara dan timur, mengikuti kontur alami menuju anak-anak sungai yang bermuara ke Siak. Namun, masalah muncul ketika pembangunan mengabaikan arah alamiah itu. Saluran primer yang seharusnya menampung limpasan dari saluran sekunder dan tersier justru terputus atau tertimbun proyek perumahan dan ruko yang menutup jalur air.
Data dari BPBD dan Dinas PUPR Pekanbaru dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya titik-titik genangan kronis yang seakan menjadi langganan setiap hujan besar tiba. Di Jalan Arifin Ahmad, genangan setinggi 30 sentimeter sudah dianggap hal biasa. Jalan HR Soebrantas, Tuanku Tambusai, dan Soekarno-Hatta pun tidak luput dari kubangan besar setiap kali curah hujan melewati ambang 100 milimeter. Perumahan di Sidomulyo dan kawasan Rumbai bahkan sempat terendam hingga sepinggang orang dewasa. Pada puncak banjir besar Maret 2025, BPBD mencatat 3.923 kepala keluarga terdampak, lebih dari 10.000 jiwa harus berhadapan dengan genangan yang bertahan berhari-hari, dan sekitar 10 kilometer ruas jalan utama lumpuh karena air setinggi hingga satu meter. Pemerintah Kota saat itu menetapkan status siaga darurat selama dua pekan penuh. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan tanda bahwa persoalan ini sudah melewati batas wajar dan membutuhkan reformasi kebijakan yang mendalam.
Jika ditelusuri, akar masalah banjir Pekanbaru dapat dipahami dari dua sisi: struktural dan non-struktural. Di sisi struktural, banyak saluran drainase yang tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Sedimentasi, tumpukan sampah, dan bahkan pembangunan ruko di atas saluran menjadi pemandangan yang tak jarang ditemui. Dalam beberapa kasus, pemilik bangunan menutup bak kontrol drainase agar halaman mereka terlihat rapi, tanpa menyadari bahwa tindakan itu memutus aliran air dan menimbulkan efek domino bagi lingkungan sekitarnya. Selain itu, perubahan fungsi lahan menjadi faktor yang tak bisa diabaikan. Pekanbaru kehilangan banyak ruang resapan air akibat betonisasi jalan, trotoar, dan lahan parkir. Air hujan yang seharusnya meresap ke tanah kini berlari cepat ke saluran yang kapasitasnya terbatas, menyebabkan limpasan berlebihan saat hujan lebat.
Kondisi topografi turut memperburuk situasi. Permukiman di dataran rendah menjadi titik kumpul air dari kawasan yang lebih tinggi. Seiring pembangunan yang tidak memperhitungkan ketinggian tanah, banyak rumah justru berdiri di posisi "cekungan" alami, sehingga sekalipun drainase sudah dibersihkan, air tetap mengalir ke sana karena hukum gravitasi tak bisa ditawar. Di beberapa lokasi, pintu air dan pompa yang seharusnya membantu mempercepat aliran justru tidak berfungsi optimal, baik karena kerusakan mekanis maupun kurangnya perawatan.
Namun penyebab banjir tidak hanya bersumber dari fisik kota. Di sisi non-struktural, kelemahan terbesar justru terletak pada koordinasi kelembagaan dan tata kelola. Pekanbaru adalah contoh klasik kota yang tumbuh lebih cepat dari kemampuan pemerintahannya mengelola ruang. Izin mendirikan bangunan kadang dikeluarkan tanpa kajian drainase yang matang, pengawasan pasca-pembangunan minim, dan koordinasi antarorganisasi perangkat daerah kerap berjalan sektoral. Dinas PUPR menangani konstruksi saluran, sementara DLHK bertanggung jawab atas kebersihan, BPBD menangani bencana, dan Dinas Perizinan mengeluarkan izin bangunan, namun sinergi lintas sektor masih belum efektif. Akibatnya, penanganan banjir seringkali bersifat reaktif: pembersihan dilakukan setelah banjir datang, bukan sebelum.
Selain faktor kelembagaan, partisipasi masyarakat juga masih lemah. Kesadaran warga tentang pentingnya menjaga saluran air sering terbentur kebiasaan lama membuang sampah sembarangan. Sementara itu, sebagian warga yang ingin aktif justru tidak punya saluran formal untuk melapor ketika menemukan saluran tersumbat atau pembangunan ilegal yang menutup drainase. Di sinilah pentingnya kehadiran mekanisme partisipatif yang memberi ruang bagi warga untuk ikut menjaga sistem drainase mereka sendiri.
Dari sisi hukum, kerangka peraturan sebenarnya sudah cukup kuat. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 12 ayat (2) huruf e, menyatakan bahwa urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar mencakup "lingkungan hidup", yang di dalamnya termasuk pengendalian banjir dan pengelolaan sumber daya air. Artinya, Pemko Pekanbaru memiliki tanggung jawab hukum untuk menjamin bahwa air tidak menjadi ancaman bagi warganya. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pada Pasal 35 huruf g, mengatur bahwa setiap orang dilarang "menggunakan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan". Dengan demikian, pembangunan ruko atau perumahan yang menutup saluran air secara hukum melanggar aturan tata ruang dan dapat dikenai sanksi administratif sesuai Pasal 61 dan 69 UU yang sama.
Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai menegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) bahwa "setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengganggu fungsi sungai dan daerah manfaat sungai". Kegiatan menutup drainase atau membangun di atas aliran air jelas termasuk dalam kategori itu. Di tingkat daerah, Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 10 Tahun 2006 tentang Sumber Daya Air dan Sumur Resapan menegaskan dalam Pasal 5 bahwa setiap pemilik bangunan wajib membuat sumur resapan, dan dalam Pasal 11 disebutkan bahwa "setiap orang dilarang menutup saluran air umum yang telah ditetapkan pemerintah daerah." Pelanggaran terhadap ketentuan ini bahkan dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 17, yang memberi kewenangan kepada Pemerintah Kota untuk menegakkan tindakan administratif maupun pidana ringan.
Melihat kerumitan tersebut, gagasan pembentukan Satuan Tugas Penanggulangan Banjir Non-ASN di bawah Walikota Pekanbaru menjadi relevan. Satgas ini bukan birokrasi baru, melainkan jembatan yang menghubungkan pemerintah dengan warga di tingkat akar rumput. Isinya bisa berasal dari unsur masyarakat: ketua RT/RW, pemuda, mahasiswa pecinta lingkungan, komunitas sungai, dan relawan bencana. Mereka berfungsi sebagai mata dan telinga pemerintah di lapangan---mengawasi kondisi saluran, melaporkan penyumbatan, membantu evakuasi saat banjir, dan menjadi penggerak gotong royong di lingkungannya. Dengan koordinasi langsung di bawah Walikota, Satgas Non-ASN ini dapat bergerak cepat tanpa terbebani hirarki birokrasi yang panjang. Pemerintah cukup memberi dukungan alat, pelatihan, dan insentif sederhana berupa pengakuan publik atau sertifikat resmi.
Model ini sejalan dengan prinsip kolaborasi pemerintah dan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Permendagri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Koordinasi Penanggulangan Bencana Daerah, yang menegaskan bahwa pelibatan masyarakat merupakan bagian integral dari penanggulangan bencana daerah. Dalam konteks ini, keberhasilan tidak diukur dari seberapa banyak alat berat diturunkan, tetapi dari seberapa kuat keterlibatan warga dalam menjaga sistem drainase mereka sendiri.
Langkah-langkah strategis yang bisa diambil untuk menata ulang sistem drainase kota sebenarnya tidaklah asing. Pemerintah dapat memulai dengan pemetaan ulang jaringan drainase berdasarkan data topografi yang akurat agar saluran primer dan sekunder benar-benar mengikuti aliran alami air. Setiap kawasan padat penduduk perlu diwajibkan memiliki sumur resapan dan sistem infiltrasi. Di sisi lain, ruang terbuka hijau dan lahan basah yang masih tersisa harus dijaga sebagai penyerap air alami. Pemerintah juga perlu menjalankan program "zero sedimentation", yakni membersihkan sedimen di saluran minimal dua kali setahun, bukan menunggu sampai tersumbat total. Untuk memperkuat sistem pengawasan, teknologi digital bisa dimanfaatkan: sensor curah hujan dan ketinggian air dipasang di titik-titik rawan, terhubung ke dashboard BPBD, sementara warga dapat melapor genangan lewat aplikasi sederhana yang langsung diteruskan ke Dinas PUPR.
Akan tetapi semua itu tidak akan efektif tanpa penegakan hukum. Pemilik bangunan yang menutup saluran umum seharusnya ditindak berdasarkan Perda. Izin pembangunan harus disertai dokumen analisis drainase, dan pelanggaran perlu dikenai sanksi administratif hingga pencabutan izin. Di sisi fiskal, pemerintah kota sebaiknya menyediakan anggaran khusus dan berkelanjutan untuk pemeliharaan drainase, bukan sekadar proyek tahunan yang bersifat sementara. Di tengah keterbatasan APBD, pendekatan partisipatif melalui Satgas Non-ASN justru menjadi solusi hemat namun efektif, karena menggerakkan energi sosial masyarakat yang selama ini terpendam.
Pekanbaru perlu memandang banjir bukan sekadar bencana musiman, melainkan indikator kegagalan sistem tata ruang dan tata kelola. Selama pendekatan yang diambil hanya berupa pengerukan saluran tanpa perubahan perilaku dan koordinasi, banjir akan terus datang seperti tamu lama yang tak diundang. Air memiliki ingatan panjang, ia akan selalu mencari jalannya kembali ke tempat yang dahulu ia miliki. Maka tugas manusia adalah memberi jalan itu tanpa harus menenggelamkan dirinya sendiri.
Harapan terhadap kota ini tidaklah kecil. Pekanbaru memiliki modal sosial yang kuat: gotong royong warga, komunitas lingkungan, serta generasi muda yang kian sadar pentingnya ruang hidup berkelanjutan. Jika potensi itu disatukan melalui kelembagaan yang tepat, bukan mustahil Pekanbaru akan berubah dari kota yang ditakuti hujan menjadi kota yang bersahabat dengan air. Pembentukan Satgas Penanggulangan Banjir Non-ASN di bawah Walikota dapat menjadi tonggak pertama menuju perubahan itu---sebuah langkah kecil yang bisa menimbulkan efek besar, bukan hanya bagi infrastruktur, tapi juga bagi budaya kota.
Pada akhirnya, penanggulangan banjir bukan semata urusan pipa dan beton, melainkan urusan kesadaran kolektif. Setiap selokan yang dibersihkan, setiap sumur resapan yang dibuat, dan setiap laporan warga yang ditindaklanjuti adalah bagian dari kontrak sosial baru antara pemerintah dan masyarakat. Di dalamnya tersimpan janji bahwa air tidak akan lagi menjadi musuh, melainkan bagian dari kehidupan yang diatur bersama. Dan ketika hari itu tiba, mungkin kita akan menyambut hujan bukan dengan cemas, melainkan dengan lega, karena Pekanbaru akhirnya belajar berdamai dengan air yang selama ini tak kunjung surut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI