Luhansk, ialah wilayah yang merupakan bagian dari Donbas yang terletak di Ukraina Timur yang kian menjadi sengketa konflik bersenjata semenjak 2014. Konflik ini bermula dari pecahnya gerakan demonstrasi Euromaiden pada tahun 2013 yang mana ini merupakan bentuk upaya untuk menggulingkan pemerintahan Viktor Yanukovych yang dikenal sebagai pro-Rusia. Gerakan ini berakhir dengan dicabutnya posisi Yanukovych dari jabatan presiden. Masyarakat Ukraina Timur yang pro-Yanukovych langsung memprotes atas pencabutan presiden dengan mengadakan referendum untuk menyatakan hak merdeka dari Ukraina. Referendum ini mengakibatkan pecahnya konflik bersenjata antara pemerintah Ukraina dengan kelompok pro-Yanukovych yang menuntut kemerdakaan yang juga disebut sebagai kelompok separatis.
Dua kota di bagian timur Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia, Donestk dan Luhansk, adalah tempat referendum diadakan. Government Controlled Area (GCA) dan Non-Government Controlled Area (NGCA) adalah nama dua wilayah di mana dua kota ini terbagi. Donetsk dan Luhansk sendiri adalah pusat operasi kelompok separatis. Kota-kota lain di bagian timur Ukraina tetap pasif, meskipun pada akhirnya juga mengalami kerusuhan. Setelah itu, kelompok separatis mendeklarasikan wilayah yang termasuk NGCA sebagai People’s Republics: Donetsk People’s Republic (DPR) dan Luhansk People’s Republic (LPR), dengan harapan kedua kota tersebut akan melepaskan diri dari Ukraina.
Konflik ini kemudian berkembang menjadi perang berkepanjangan yang terus berlanjut hingga invasi Rusia ke Ukraina secara besar-besaran pada Februari 2022. Pada September 2022, Rusia menggelar referendum yang kontroversial di beberapa wilayah Ukraina yang diduduki termasuk Luhansk, dan mengumumkan aneksasi secara sepihak wilayah tersebut. Namun, kendali militer Rusia atas wilayah tersebut belum sepenuhnya mutlak, dan beberapa bagian masih menjadi medan pertempuran aktif.
Pada akhir Juni 2025, kepala pemerintahan pro-Rusia di Luhansk, Leonid Pasechnik, mengklaim penguasaan 100 persen wilayah tersebut. Ini menandai penguasaan sepenuhnya Rusia atas Luhansk, provinsi pertama di Ukraina sejak invasi 2022. Klaim ini muncul di tengah perundingan gencatan senjata yang stagnan, yang difasilitasi oleh pihak ketiga seperti Amerika Serikat dan Turki. Perundingan ini melibatkan Rusia meminta pengakuan internasional atas aneksasi wilayah Ukraina yang didudukinya, termasuk Luhansk. Rusia mengklaim bahwa penguasaan wilayah tersebut merupakan bagian dari rencana geopolitik dan keamanan nasionalnya untuk melindungi penduduk asli Rusia dan menangkal ancaman ekspansi NATO ke wilayah yang pernah menjadi bagian dari Uni Soviet.
Secara hukum internasional, aneksasi wilayah Ukraina oleh Rusia adalah ilegal. Ini melanggar prinsip kedaulatan dan integritas wilayah negara lain yang diatur dalam Piagam PBB dan hukum internasional umum. Selain itu, Ukraina dan sebagian besar masyarakat internasional menganggap referendum yang dilakukan Rusia di wilayah pendudukan tidak sah karena dilakukan di bawah tekanan militer dan tanpa pengawasan independen. Pemerintah Ukraina menegaskan bahwa mereka tidak akan kehilangan wilayah tersebut dan menegaskan bahwa Luhansk merupakan bagian penting dari wilayah yang secara ilegal diduduki oleh Rusia. Pemerintah juga berkomitmen untuk merebut kembali wilayah tersebut melalui diplomasi dan militer, jika diperlukan.
Dengan mengambil alih Luhansk sepenuhnya, Rusia memperkuat posisi strategis Moskow di kawasan Donbas dan memperkuat kendalinya atas jalur logistik dan sumber daya di wilayah timur Ukraina. Selain itu, hal ini memberi Rusia keunggulan dalam perundingan perdamaian yang sedang berlangsung, di mana mereka menuntut status wilayah ini sebagai bagian dari Federasi Rusia. Namun, penguasaan ini juga menimbulkan masalah yang akan bertahan lama, seperti legitimasi pemerintahan lokal, integrasi administratif, dan kemungkinan penentangan dari warga lokal yang tetap setia kepada Ukraina. Selain itu, aneksasi ini meningkatkan konflik geopolitik antara Rusia dan negara-negara Barat, yang terus mendukung Ukraina secara militer dan diplomatik.
Berdasarkan laporan media internasional dan pengumuman resmi dari pejabat pro-Rusia, wilayah Luhansk secara de facto telah diambil oleh Rusia pada pertengahan tahun 2025. Namun, secara hukum dan de jure, wilayah ini masih merupakan bagian dari Ukraina, dan aneksasi Rusia ke sana dianggap melanggar hukum internasional. Penguasaan penuh Luhansk oleh Rusia adalah puncak dari konflik selama lebih dari sepuluh tahun, yang mencerminkan pergeseran geopolitik antara Rusia, Ukraina, dan kekuatan lain di dunia. Namun, hasil akhir wilayah ini sangat bergantung pada perkembangan politik dan militer yang akan datang, termasuk kemungkinan perundingan perdamaian yang belum jelas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI