Lihat ke Halaman Asli

Etika Stoicism Sebagai Transfigurasi diri Menjadi Sarjana

Diperbarui: 29 September 2025   09:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi seorang sarjana adalah impian banyak orang. Namun, jalan menuju gelar akademis sering kali penuh dengan tantangan, tekanan, dan ketidakpastian. Di tengah persaingan akademik yang ketat, tuntutan sosial, dan krisis eksistensial, banyak mahasiswa merasa stres, cemas, bahkan kehilangan arah. Dalam konteks inilah, etika Stoisisme hadir sebagai sebuah filosofi kuno yang relevan dan praktis untuk membantu seorang sarjana menjalani proses transfigurasi diri. Transfigu

Etika stoicism sebagai transfigurasi diri menjadi sarjana berbahagia

rasi, dalam konteks ini, bukanlah perubahan eksternal yang dangkal, melainkan transformasi batin yang mendalam, di mana seorang individu tidak lagi dikendalikan oleh peristiwa eksternal, tetapi menjadi penguasa batinnya sendiri. Dengan mengintegrasikan ajaran Stoa, seorang sarjana dapat bergerak dari sekadar meraih gelar menjadi mencapai eudaimonia, yaitu kebahagiaan sejati yang bersumber dari kebajikan dan ketenangan batin. Esai ini akan menguraikan bagaimana etika Stoisisme menjadi peta jalan bagi seorang sarjana untuk mentransfigurasi diri menjadi pribadi yang berbahagia.

Etika stoicism sebagai transfigurasi diri menjadi sarjana berbahagia

Etika Stoicisme mentransformasi diri seorang sarjana menjadi berbahagia melalui fokus pada kebajikan (virtue), pemahaman tentang apa yang bisa dan tidak bisa dikendalikan, serta penerimaan takdir yang mengarah pada kedamaian batin dan kebijaksanaan.

Cara mengaplikasikan etika Stoicisme untuk transformasi diri menjadi sarjana yang berbahagia adalah sebgai berikut :

1. Fokus pada Kebajikan (Virtue):
Inti dari Stoicisme adalah hidup sesuai dengan kebajikan, yang mencakup kebijaksanaan, keadilan, keberanian, dan kesederhanaan. Bagi seorang sarjana, ini berarti menggabungkan ilmu pengetahuan dengan etika dan integritas, bukan sekedar mencari pengetahuan untuk diri sendiri.

2. Memahami Lingkaran Kontrol (Dichotomy of Control):
Stoicisme menekankan perbedaan antara hal-hal yang ada di bawah kendali kita dan hal-hal yang tidak. Sebagai sarjana, ini berarti fokus pada usaha penelitian, analisis data, dan pengembangan argumen (yang bisa dikendalikan), namun menerima hasil yang mungkin tidak selalu sesuai harapan (yang tidak bisa dikendalikan).

3. Mengembangkan Ketenangan Batin (Apatheia):
Tujuannya bukan menghilangkan emosi, tetapi tidak dikuasai oleh emosi negatif seperti kesedihan, kemarahan, atau kecemasan. Seorang sarjana yang berbahagia akan tetap rasional dan tenang dalam menghadapi tantangan akademik atau pribadi, dan tidak membiarkannya menggoyahkan kedamaian batinnya.

Etika stoicism sebagai transfigurasi diri menjadi sarjana berbahagia

Stoicism ini diciptakan di kota Athena, Yunani oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke 3 sebelum Masehi. Filsafat ini dianut oleh beberapa filsuf dari Yunani, mulai dari Epictetus yaitu seorang mantan budak, Seneca yaitu politisi di era Kaisar Nero, dan juga Marcus Aurelius yaitu seorang kaisar. 

Menurut konsep stoicism, jalan termudah untuk menuju kebahagiaan adalah didasarkan pada beberapa prinsip berikut: 

  1. Kemampuan dalam melihat diri sendiri, dunia, serta manusia lain secara objektif dan menerima sifat mereka dengan apa adanya.
  2. Disiplin untuk mencegah diri sendiri dikendalikan oleh keinginan untuk bahagia atau takut terhadap rasa sakit dan juga penderitaan.
  3. Membuat sebuah perbedaan antara apa yang ada di dalam kekuatan kita dan apa apa yang tidak ada.

Berikut adalah cara membentuk pola pikir stoicism sebagai sarjana adalah :

1. Bedakan antara hal yang bisa diubah dan tidak bisa diubah.

2. Biasakan diri menyusun jurnal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline