Lihat ke Halaman Asli

Restianrick Bachsjirun

Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN)

Rp 300 Triliun Hilang, Saatnya UU Perampasan Aset Jadi Senjata Negara

Diperbarui: 7 Oktober 2025   19:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Abstrak

Artikel ini membahas urgensi RUU Perampasan Aset dalam konteks skandal tambang timah ilegal di Bangka Belitung yang diperkirakan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun. Dengan pendekatan analitis-kritis, tulisan ini menyoroti keterbatasan kerangka hukum saat ini (KUHP, UU Tipikor, UU Minerba) yang belum mampu menutup defisit asset recovery dan menghadapi praktik mafia tambang. Artikel ini menegaskan bahwa perampasan aset bukan sekadar instrumen teknis, melainkan senjata negara untuk menegakkan kedaulatan atas sumber daya, mengimplementasikan amanat UUD 1945, serta mewujudkan keadilan sosial dan ekologis. Lebih jauh, peran Presiden Prabowo Subianto diuji dalam menghadapi resistensi oligarki, sementara gerakan mahasiswa dan pemuda didorong untuk menjadikan agenda ini sebagai prioritas perjuangan moral bangsa. Dengan membandingkan praktik internasional dan menekankan pentingnya political will, tulisan ini merekomendasikan percepatan pengesahan RUU Perampasan Aset atau penerbitan Perppu sebagai langkah darurat. Artikel ini berargumen bahwa momentum Rp 300 triliun bukan sekadar angka kerugian, melainkan panggilan sejarah untuk menegakkan kedaulatan hukum di Indonesia.

Kata Kunci: RUU Perampasan Aset; Tambang Ilegal; Mafia Ekonomi; Asset Recovery; Kedaulatan Hukum; Keadilan Sosial; Mahasiswa dan Pemuda; Oligarki; Presiden Prabowo Subianto.

Pendahuluan

Fenomena tambang ilegal kembali menjadi sorotan publik setelah Presiden Prabowo Subianto menyaksikan secara langsung penyitaan enam smelter timah ilegal oleh Kejaksaan Agung di Bangka Belitung. Dalam kunjungan itu, Presiden mengungkapkan bahwa kerugian negara akibat praktik tambang timah ilegal bisa mencapai Rp 300 triliun hanya dari enam perusahaan tersebut. Angka fantastis ini menggambarkan betapa seriusnya ancaman illegal mining terhadap keuangan negara, lingkungan hidup, dan keadilan sosial di Indonesia. Fakta ini sekaligus mengingatkan kita pada kegagalan regulasi dan lemahnya tata kelola sumber daya alam yang menjadi sasaran empuk mafia tambang.

Secara teoritis, kasus ini dapat dibaca melalui perspektif state capture corruption, yakni kondisi ketika aktor-aktor ekonomi ilegal mampu memengaruhi atau bahkan mengendalikan kebijakan publik demi kepentingan mereka sendiri (Hellman, Jones, & Kaufmann, 2000). Tambang ilegal, khususnya di sektor timah, tidak sekadar kejahatan ekonomi, tetapi merupakan bentuk "perampokan negara" melalui mekanisme penguasaan sumber daya yang seharusnya dikelola untuk kepentingan rakyat. Negara kehilangan kedaulatannya, sementara oligarki menumpuk kekayaan dari kerusakan ekologis dan penderitaan masyarakat lokal.

Pernyataan Presiden Prabowo bahwa "penegakan hukum dilakukan tanpa pandang bulu" perlu dimaknai sebagai langkah politik hukum yang serius. Namun, pertanyaan kunci muncul: apakah momentum penyitaan smelter ini cukup untuk melahirkan instrumen hukum baru berupa RUU Perampasan Aset? Tanpa perangkat hukum yang memungkinkan negara merampas aset hasil kejahatan tanpa menunggu putusan pidana inkracht, maka penyelamatan aset negara akan selalu terhambat. Kerugian Rp 300 triliun dari tambang timah ilegal adalah bukti nyata defisit asset recovery di Indonesia.

Konsep perampasan aset sendiri berakar pada teori hukum pidana modern yang menekankan pentingnya follow the money sebagai pendekatan strategis dalam pemberantasan kejahatan ekonomi (Naylor, 2002). Kejahatan korupsi, money laundering, dan illegal mining tidak bisa diberantas hanya dengan menghukum pelakunya, melainkan harus dengan merampas hasil kejahatan untuk mengembalikannya ke kas negara. Tanpa mekanisme ini, oligarki ekonomi akan tetap memiliki "nafas panjang" untuk bertahan bahkan setelah aktor-aktornya dipidana.

Dalam konteks negara hukum modern, penyelamatan aset adalah bagian integral dari fungsi welfare state. Menurut Rawls (1971), prinsip keadilan menuntut distribusi sumber daya yang adil demi kepentingan bersama, terutama bagi kelompok masyarakat paling lemah. Kerugian Rp 300 triliun bukan hanya angka ekonomi, melainkan refleksi dari ketidakadilan struktural yang mengorbankan masyarakat desa, nelayan, dan buruh tambang. Dengan demikian, RUU Perampasan Aset harus dibaca sebagai instrumen keadilan distributif, bukan sekadar perangkat teknis hukum.

Selain itu, praktik tambang ilegal yang merusak ekosistem Bangka Belitung juga menegaskan urgensi integrasi hukum lingkungan dengan hukum pidana ekonomi. Perspektif ecological justice menekankan bahwa keadilan tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk lingkungan hidup sebagai basis keberlanjutan (Schlosberg, 2007). Artinya, RUU Perampasan Aset harus diposisikan sebagai payung hukum yang juga berfungsi menginternalisasi biaya ekologis ke dalam proses asset recovery.

Dari perspektif politik hukum, momentum penyitaan smelter ini membuka peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, komitmen Presiden Prabowo menjadi sinyal positif bahwa pemerintah ingin memutus rantai mafia tambang. Namun di sisi lain, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa oligarki selalu punya cara untuk melemahkan atau menggagalkan regulasi yang mengancam kepentingannya (Robison & Hadiz, 2004). Inilah sebabnya, keberanian Presiden harus didukung oleh basis sosial yang kuat, termasuk mahasiswa dan pemuda sebagai agen moral bangsa.

Gerakan mahasiswa sejak awal sejarah Indonesia modern selalu memainkan peran penting dalam mengawal agenda keadilan dan integritas negara. Dari Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, hingga Reformasi 1998, mahasiswa tampil sebagai penggerak perubahan. Menjadikan RUU Perampasan Aset sebagai agenda prioritas gerakan mahasiswa dan pemuda akan memperkuat legitimasi moral sekaligus memberikan tekanan publik pada DPR dan elite politik untuk tidak menunda-nunda pembahasannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline