Lihat ke Halaman Asli

Top Up, Habis, Repeat: Bagaimana Game Membentuk Budaya Konsumsi Generasi Digital

Diperbarui: 10 Oktober 2025   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Iklan Top Up Game (Sumber: Kiosbank)

Di era digital, konsumsi tidak lagi terbatas pada membeli barang fisik. Sekarang, jutaan orang setiap hari mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak berwujud, seperti koin virtual, skin karakter, atau senjata digital dalam permainan daring. Fenomena top up game, yaitu praktik membeli mata uang virtual dengan uang nyata, telah menjadi bagian penting dari budaya populer yang menggabungkan hiburan, gaya hidup, dan ekonomi. Di balik keseruannya, praktik ini mencerminkan wajah baru dari konsumerisme digital, di mana citra menjadi lebih penting daripada kenyataan dan identitas pemain dibentuk oleh kekuatan iklan serta simbol-simbol virtual.

Barney Warf (2011) menjelaskan bahwa perkembangan teknologi menciptakan apa yang disebut sebagai penyusutan ruang dan waktu, yaitu proses yang membuat jarak seolah tidak lagi berarti karena semuanya bisa diakses dengan cepat. Kecepatan dan kemudahan inilah yang kemudian menjadi nilai baru dalam kehidupan digital, bahkan sering kali dianggap lebih penting daripada pengalaman bermain itu sendiri.

Iklan-iklan top up yang bertebaran di media sosial tidak hanya menawarkan produk, tetapi juga membentuk cara berpikir baru tentang makna keberhasilan dan status sosial di dunia virtual. Pemain yang mampu membeli lebih banyak item eksklusif dianggap lebih unggul dan lebih layak dihormati. Dalam konteks ini, game tidak hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga cermin dari logika kapitalisme yang menilai manusia berdasarkan kemampuan membeli.

Ketika Imajinasi Menggantikan Realitas

Pemikiran Jean Baudrillard tentang hiperrealitas menjelaskan bahwa masyarakat modern hidup di dunia di mana citra dan simbol menjadi lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Dalam konteks top up game, skin langka atau karakter mahal bukan hanya bagian dari permainan, melainkan simbol status dan eksistensi digital. Pemain tidak hanya ingin menang, tetapi ingin terlihat menang. 

Pengalaman bermain pun bergeser menjadi ajang representasi diri. Dunia virtual game kemudian menjadi bentuk hiperrealitas, di mana batas antara fantasi dan kenyataan semakin kabur. Iklan-iklan top up sering menampilkan sosok pemain sukses yang bahagia dan percaya diri dengan akun yang terlihat mahal. Seperti dikatakan Baudrillard, yang sebenarnya dikonsumsi bukanlah barangnya, melainkan tanda dari barang itu. Membeli skin "legendary" berarti membeli citra sosial bahwa seseorang termasuk ke dalam kelompok elite digital, meski hanya dalam dunia maya.

Menurut temuan Purba dan Raharja (2022), tingkat keterlibatan emosional pemain memiliki hubungan positif dengan kecenderungan melakukan pembelian impulsif terhadap item virtual. Hal ini memperkuat pandangan bahwa perilaku konsumtif dalam game tidak hanya dipengaruhi faktor eksternal seperti iklan, tetapi juga oleh faktor internal berupa kebutuhan psikologis untuk mempertahankan rasa kesenangan dan identitas digital.

Kelas dan Simbol dalam Budaya Konsumen

Mike Featherstone dan Pierre Bourdieu melihat konsumsi bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi juga tindakan simbolik yang berfungsi untuk membedakan satu kelompok sosial dengan kelompok lainnya. Di dunia game, hal ini terlihat jelas ketika pemain membangun identitas mereka melalui kepemilikan item digital. Barang-barang virtual menjadi simbol status dan gaya hidup, seperti tas bermerek di dunia nyata. 

Bourdieu menyebut fenomena ini sebagai bentuk kapital simbolik, yaitu kekuasaan yang diperoleh melalui penguasaan tanda dan simbol. Sementara Featherstone menekankan bahwa budaya konsumen modern mengajarkan individu untuk membentuk identitas melalui gaya dan penampilan. Pemain yang mampu melakukan top up besar dianggap memiliki selera dan kedudukan yang lebih tinggi, gaya itu diwujudkan melalui tampilan karakter dan kelengkapan digital yang dibeli.

Dengan demikian, top up bukan lagi sekadar transaksi ekonomi, melainkan cara untuk membangun citra diri. Ketika seseorang mengeluarkan uang untuk membuat avatarnya terlihat lebih keren, sebenarnya ia sedang ikut dalam permainan sosial yang sama dengan masyarakat kapitalis: membeli makna untuk memperkuat identitas.

Hiburan sebagai Ideologi Baru

Konsumerisme digital bekerja melalui logika hegemoni yang halus. Antonio Gramsci pernah menjelaskan bahwa kekuasaan tidak selalu menindas secara paksa, tetapi justru berjalan ketika masyarakat menyetujuinya tanpa sadar. Iklan top up bekerja dengan cara serupa. Ia menjual gagasan tentang kebebasan memilih dan kesenangan pribadi, padahal pada saat yang sama menjerat pemain dalam siklus konsumsi yang tiada akhir.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana nilai-nilai kapitalisme telah menyusup ke dalam dunia hiburan. Game bukan lagi sekadar permainan, melainkan ruang di mana nilai-nilai seperti kompetisi, kecepatan, dan individualisme dilegitimasi sebagai bagian dari kesenangan. Para pemain menikmati permainan itu tanpa sadar bahwa mereka sedang menjadi bagian dari sistem ekonomi yang terus mendorong mereka untuk membeli lebih banyak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline