Sejak kejadian di rumah Nayla, segalanya berubah. Nayla tak lagi duduk di bangku taman belakang sekolah yang biasa menjadi tempatnya membaca. Ia lebih sering menyendiri di perpustakaan atau bahkan memilih pulang cepat sebelum bel masuk usai. Raka memperhatikan semua perubahan itu, tapi ia tak tahu harus memulai dari mana. Seolah Nayla membangun tembok tinggi dan Raka kehilangan kunci untuk memasukinya kembali.
Di sisi lain, Tania kian aktif. Ia tahu Nayla menjauh, dan baginya itu kesempatan emas. Ia datang setiap pagi membawa dua kotak bekal, satu untuknya, satu untuk Raka. Mereka duduk berdampingan di kantin, bercanda, tertawa---setidaknya dari luar tampak seperti pasangan sempurna. Tapi Raka tahu, ada yang hampa. Ia tertawa, tapi tidak sepenuh hati.
"Raka, kamu dengerin nggak sih?" tanya Tania sambil menyodorkan sepotong nugget ke mulut cowok itu.
Raka terperanjat. "Eh... iya, iya. Kamu bilang apa tadi?"
Tania tertawa kecil, tapi matanya menelusuri arah pandang Raka yang tadi sempat menoleh ke arah jendela---tempat Nayla melintas sendirian sambil memeluk bukunya erat-erat.
Sementara itu, Nayla menulis puisi dalam diam. Tugas dari Bu Lestari, guru Bahasa Indonesia, tentang "Cinta dan Rasa" membuatnya harus menggali perasaan yang ia sembunyikan rapi. Ia tahu puisinya tak akan dibacakan, cukup dikumpulkan. Tapi tetap saja, tangan dan hatinya gemetar saat menuliskannya:
"Kau pernah singgah di dadaku, tak lama
Tapi cukup membuatku lupa caranya hampa
Kini kau hadir sebagai bayang
Yang tak bisa kupegang, hanya ku kenang."