Ada satu kalimat yang kadang-kadang mampir di kepala saya tiap kali nunggu gajian:"Aku akan resign... tapi nanti aja, kalau pendapatan pasif sudah cukup." Kalimat itu terdengar bijak, tapi juga agak menipu diri sendiri. Soalnya kalau ditanya "sudah cukup belum?" jawabannya selalu, "Belum, tapi bentar lagi..." Dan "bentar lagi" itu sudah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu.
Kita ini bangsa yang gemar berencana tapi jarang menyelesaikan. Katanya mau bikin passive income, tapi yang pasif malah rekeningnya.
Ada teman saya bilang, "Saya sudah punya penghasilan pasif, Mas"
Saya tanya, "Dari mana, Mas?"
Dia jawab, "Dari deposito tabungan istri."
Nah, itu bukan penghasilan pasif, Mas. Tapi saya maklum. Siapa sih yang tidak ingin hidup tenang tanpa disuruh lembur, tanpa disapa "bisa join Zoom bentar, ya?"
Masalahnya, jalan menuju kebebasan finansial itu tidak seindah konten motivator yang duduk di kafe sambil minum latte dan bilang: "Kalau mau kaya, kerja cerdas, bukan kerja keras." Padahal yang ngomong begitu kerja keras juga, tiap hari bikin konten supaya views-nya tetap tinggi.
Begini, ada hal lucu tapi juga agak menyedihkan: kalau perempuan bilang ingin break dari kerja kantoran dan fokus ke rumah atau usaha kecil, orang bilang, "Wah hebat, inspiratif, menemukan keseimbangan hidup."
Tapi kalau pria bilang, "Aku ingin resign dan hidup dari pendapatan pasif," langsung dianggap sesat. "Lho, kamu kan laki-laki? Harusnya cari nafkah, bukan cari rebahan!"
Memang aneh dunia ini. Seolah-olah kalau pria duduk santai di teras sambil nyiram tanaman, dunia akan kekurangan oksigen. Padahal bisa jadi justru karena para pria terlalu tegang mikirin cicilan, bumi jadi makin panas.
Kita ini korban dari mitos lama: bahwa pria harus selalu jadi pencari nafkah utama.
Kalau belum bisa bangun rumah, belum jadi lelaki. Kalau belum bisa beli mobil, belum dewasa.
Kalau belum bisa traktir teman-teman, jangan banyak gaya.