Di bawah langit senja Tegal yang ramah dan bersahaja, musik keroncong akan bergema--menghidupkan kembali denyut warisan budaya yang nyaris terlupakan.
Pada Sabtu, 28 Juni 2025, Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia melalui Direktorat Film, Musik, dan Seni, akan menggelar sebuah acara istimewa bertajuk "Roadshow Keroncong Svaranusa" yang bertempat di Taman Rakyat Slawi, Kabupaten Tegal.
Dipandu langsung oleh Direktur Film, Musik, dan Seni, Syaifullah Agam, kegiatan ini bukan sekadar pertunjukan musik biasa, melainkan sebuah pernyataan kebudayaan--bahwa keroncong masih hidup, tumbuh, dan relevan di tengah zaman yang serba digital dan instan.
Acara ini tidak terlepas dari visi seorang putra Aceh yang menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 di Australia. Sementara S3 diselesaikannya di Universitaas Syah Kuala, Aceh. Bernama lengkap Syaifullah Agam, SE., M.Ec., Ph.D sang Direktur Film, Musik, dan Seni di Kementerian Kebudayaan RI.
Ia saat ini dipercaya oleh Menteri Kebudayaan Dr. Fadli Zon untuk memimpin upaya pelestarian dan pengembangan seni tradisional Indonesia, termasuk musik keroncong serta film dan musik, dengan pendekatan profesional dan kreatif guna menjaga warisan budaya bangsa tetap hidup dan relevan di era modern.
Syaifullah Agam, seperti tidak pernah kehabisan energi dan gagasan untuk terus merawat dan mengembangkan warisan kebudayaan Indonesia.
Keroncong Sebagai Simfoni Identitas Budaya
Keroncong adalah warisan musik yang telah mengakar sejak era kolonial, namun mengalami proses indigenisasi yang kuat sehingga kini menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas musik Indonesia.
Dalam perspektif teori habitus Pierre Bourdieu, keroncong adalah praktik budaya yang mencerminkan struktur sosial yang hidup dalam masyarakat, dan melalui pementasan-pementasan seperti Svaranusa, habitus tersebut diperkuat dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Lebih jauh, kegiatan ini sejalan dengan pendekatan "Cultural Sustainability" yang digaungkan oleh Jon Hawkes (2001) dalam The Fourth Pillar of Sustainability.