Lihat ke Halaman Asli

Tino Rahardian

TERVERIFIKASI

Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Catatan di Hari Jamu Nasional: Warisan Budaya yang Terjepit di Pasar Global

Diperbarui: 27 Mei 2025   19:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jamu asli Indonesia terbuat dari berbagai empon-empon dan rempah. (Foto: SHUTTERSTOCK W1SNU.COM via Kompas.com)

Hari ini adalah momen yang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin hanya lalu begitu saja--sepi dari gegap gempita, tidak seperti Hari Batik atau Hari Sumpah Pemuda. Sebagian Kompasianer mungkin juga tidak terlalu memperhatikan bahwa 27 Mei diperingati sebagai Hari Jamu Nasional.

Kebijakan yang dimulai sejak tahun 2008 ini perlu diapresiasi sebagai sebuah pengakuan atas warisan budaya yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Nusantara selama berabad-abad.

Kita patut bangga, jamu adalah warisan budaya takbenda yang telah diakui UNESCO pada 2021. Ironisnya, di negeri asalnya, jamu justru lebih sering diposisikan sebagai minuman "jadul" yang identik dengan lansia, pasar tradisional, atau pengobatan alternatif pinggiran.

Padahal, dalam konteks ekonomi global, jamu sesungguhnya menyimpan potensi luar biasa yang belum disentuh secara sistematis oleh negara maupun korporasi nasional.

Jamu bukan sekadar sebagai "warisan budaya," tapi sebagai strategic cultural commodity dalam arena ekonomi kesehatan global yang semakin mengarah ke preventive wellness berbasis tanaman obat.

Namun, di balik kebanggaan nasional, tersembunyi paradoks: meski permintaan global terhadap produk herbal melonjak, jamu masih terjebak dalam bayang-bayang ketertinggalan. Bagaimana warisan budaya ini bisa bertahan di tengah gempuran pasar modern?

Akarnya Dalam, Daunnya Layu: Dilema Jamu di Era Global

1. Signifikansi Budaya vs. Tuntutan Pasar

Jamu bukan sekadar minuman herbal, melainkan ethnoscape (Appadurai, 1990) yang merepresentasikan interaksi manusia dengan alam. Pengakuan UNESCO pada 2021 sebagai Warisan Budaya Takbenda mempertegas posisinya.

Namun, narasi budaya saja tidak cukup. Berbeda dengan Ayurveda (India) atau Traditional Chinese Medicine (TCM) yang sukses mengkapitalisasi warisan mereka melalui standardisasi dan branding, jamu masih berkutat pada masalah mendasar: inkonsistensi kualitas, kurangnya inovasi, dan lemahnya strategi pemasaran global.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline