Hari ini adalah momen yang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin hanya lalu begitu saja--sepi dari gegap gempita, tidak seperti Hari Batik atau Hari Sumpah Pemuda. Sebagian Kompasianer mungkin juga tidak terlalu memperhatikan bahwa 27 Mei diperingati sebagai Hari Jamu Nasional.
Kebijakan yang dimulai sejak tahun 2008 ini perlu diapresiasi sebagai sebuah pengakuan atas warisan budaya yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Nusantara selama berabad-abad.
Kita patut bangga, jamu adalah warisan budaya takbenda yang telah diakui UNESCO pada 2021. Ironisnya, di negeri asalnya, jamu justru lebih sering diposisikan sebagai minuman "jadul" yang identik dengan lansia, pasar tradisional, atau pengobatan alternatif pinggiran.
Padahal, dalam konteks ekonomi global, jamu sesungguhnya menyimpan potensi luar biasa yang belum disentuh secara sistematis oleh negara maupun korporasi nasional.
Jamu bukan sekadar sebagai "warisan budaya," tapi sebagai strategic cultural commodity dalam arena ekonomi kesehatan global yang semakin mengarah ke preventive wellness berbasis tanaman obat.
Namun, di balik kebanggaan nasional, tersembunyi paradoks: meski permintaan global terhadap produk herbal melonjak, jamu masih terjebak dalam bayang-bayang ketertinggalan. Bagaimana warisan budaya ini bisa bertahan di tengah gempuran pasar modern?
Akarnya Dalam, Daunnya Layu: Dilema Jamu di Era Global
1. Signifikansi Budaya vs. Tuntutan Pasar
Jamu bukan sekadar minuman herbal, melainkan ethnoscape (Appadurai, 1990) yang merepresentasikan interaksi manusia dengan alam. Pengakuan UNESCO pada 2021 sebagai Warisan Budaya Takbenda mempertegas posisinya.
Namun, narasi budaya saja tidak cukup. Berbeda dengan Ayurveda (India) atau Traditional Chinese Medicine (TCM) yang sukses mengkapitalisasi warisan mereka melalui standardisasi dan branding, jamu masih berkutat pada masalah mendasar: inkonsistensi kualitas, kurangnya inovasi, dan lemahnya strategi pemasaran global.