Negara seperti Korea Selatan sukses mengangkat ginseng sebagai produk global dengan merek nasional, sementara jamu Indonesia belum menemukan "diplomat produknya".
2. Potensi Pasar: Besar di Kertas, Minim Realisasi
Data Kementerian Perdagangan (2021) mencatat nilai ekspor jamu hanya US$41,5 juta (Rp560 miliar), atau 0,8% dari pasar global obat herbal yang mencapai Rp1.936,9 triliun.
Padahal, 80% populasi dunia menggunakan obat herbal (WHO, 2023). Pertanyaannya: mengapa jamu kalah bersaing?
Analisis Porter's Diamond Theory (1990) mengungkap kelemahan struktural:
- Faktor Produksi: Indonesia memiliki 300.000 jenis tanaman herbal, tetapi hanya 5% yang dimanfaatkan secara komersial.
- Strategi Perusahaan: Mayoritas produsen jamu masih skala UMKM dengan orientasi lokal. Hanya segelintir perusahaan seperti Sido Muncul (Tolak Angin) yang berhasil menembus pasar ekspor.
- Dukungan Pemerintah: Regulasi sertifikasi organik dan GMP (Good Manufacturing Practice) belum terimplementasi maksimal.
Jurang antara Tradisi dan Modernitas
Studi Jurnal Jamu Indonesia (2024) mengonfirmasi bahwa 70% produk jamu tradisional gagal memenuhi standar keamanan pangan internasional akibat kontaminasi logam berat dan mikroba.
Sementara itu, riset pasar oleh Forrester (2024) menunjukkan bahwa konsumen global mengutamakan sertifikasi organik, bukti klinis, dan eco-friendly packaging--kriteria yang masih menjadi tantangan bagi industri jamu.
Contoh nyata: minuman kunyit-asam (turmeric-tamarind) yang diteliti di Aceh (2024) mendapat respon positif dalam aspek rasa dan warna, tetapi belum ada upaya industrialisasi untuk memenuhi permintaan massal.
Konsep jamu sesungguhnya bisa dipahami sebagai bentuk indigenous knowledge system (Agrawal, 1995) yang mengintegrasikan aspek empiris, spiritual, dan ekologis.
Dalam setiap ramuan jamu terkandung teknik pengetahuan yang diturunkan lintas generasi, berbasis pengalaman dan observasi yang setara dengan riset ilmiah panjang.