Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Termenung Dalam Diam

Diperbarui: 3 Mei 2019   11:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Dia laksana Surga, yang selalu dinanti manusia untuk bertahta sekalipun sedang berada dalam hati yang lara."

Pagi itu, setelah membeli beberapa pesanan Ibu dari pasar, aku berdiri di halte menunggu ribuan tetesan air hujan dari atas langit berhenti.

Sebuah angkot berhenti di depan halte, seorang wanita paruh baya membawa beberapa belanjaan turun dari angkot dan cepat-cepat berlari menuju halte. Ia berdiri di sampingku, sekilas kami saling bertatap untuk kemudian melempar senyum keramahan.

"Udah dari tadi, Nak?" tanya Ibu itu kepadaku.

Aku mengangguk. Kulirik belanjaan Ibu itu yang lumayan banyak. Saking banyaknya plastik untuk menampung belanjaannya hampir ingin robek.

"Habis dari pasar, ya, Bu?" tanyaku.

"Iya."

"Kenapa gak minta dianterin aja, Bu? Belanjaan Ibu banyak banget loh. Apalagi ini juga lagi hujan," kataku.

Ibu itu tersenyum manis. "Selagi saya bisa membawa belanjaan saya, saya tidak butuh bantuan orang lain. Suami saya kerja, anak saya sekolah, mereka harus fokus dengan pekerjaan mereka. Urusan ini biarlah saya sebagai ibu rumah tangga."

Mendengarnya aku seperti diserang oleh ribuan petir untuk terdiam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline