"Dulu, kakek naik kereta harus rebutan tempat duduk, Nduk. Kalau enggak cepat-cepat, ya duduk di lantai, deket pintu, kedinginan sepanjang malam."
Aku hanya tersenyum sambil mengencangkan pegangan tangan kakek. Di usianya yang hampir 80, Pak Tarmo---kakekku---masih setia menyimpan cerita tentang zaman kereta api yang pernah ia kenal. Kereta yang penuh sesak, jendela yang tak bisa ditutup, dan suara pedagang asongan yang saling bersahutan di tiap stasiun.
Baginya, kereta adalah kenangan, sekaligus trauma kecil.
Sejak aku masih SD, beliau selalu bilang, "Kalau bisa jangan naik kereta, Nduk. Capek. Penuh. Panas." Tapi sebagai cucu yang lahir di generasi digital, aku tahu kereta sekarang bukan lagi seperti cerita-cerita lamanya.
Jadi tahun ini, aku beranikan diri mengajaknya ikut mudik ke Jakarta---naik kereta.
Kami berangkat dari Stasiun Madiun, kota kelahiran kami berdua. Aku memilih Kereta Api Gajayana, kelas eksekutif, dengan jadwal siang supaya kakek bisa menikmati pemandangan. Tiket kupesan lewat aplikasi KAI Access. Dalam beberapa menit, semuanya beres: pilih kursi, pesan makanan, dan boarding pass pun sudah tersimpan di layar ponselku.
Saat pertama kali kusampaikan bahwa kami akan naik kereta, kakek agak kaget.
"Lho? Kita enggak naik mobil, Nduk?"
"Enggak, Kek. Kereta sekarang beda. Lebih nyaman. Lebih cepat juga."
Beliau sempat ragu. Tapi mungkin karena tak ingin mengecewakanku, akhirnya hanya mengangguk. "Ya wis, kakek manut."
Pagi hari sebelum keberangkatan, aku membantunya memakai batik kesayangannya. Beliau tampak senang, meskipun masih menyimpan keraguan.