Lihat ke Halaman Asli

Puji Purwaningsih

Hisservant for Christian education

Puasa Jelang Perayaan Paskah: Calling for Freedom Beyond Our Appetites

Diperbarui: 14 April 2025   21:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan sampah makanan mengalami kenaikan selama 5 tahun terakhir. Sampah makanan mengalami kenaikan 10-20% terbanyak selama bulan Puasa dari data empirik yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia.  Sampah makanan mengalami kenaikan karena perilaku konsumtif masyarakat yang membeli makanan dalam jumlah banyak tetapi tidak menghabiskannya. Sampah makanan ini ke depan akan menjadi tantangan serius bagi kelestarian lingkungan hidup. Dalam berpuasa seharusnya membuat kita semakin bijaksana dalam mengonsumsi makanan bukan malah justru sebaliknya.  Puasa menjadi salah satu disiplin dalam berbagai agama dan kepercayaan yang dilakukan dengan cara yang berbeda-besa. Secara umum puasa adalah menahan diri atau berpantang terhadap sesuatu dalam jangka waktu tertentu. Artikel ini ditulis sebagai perenungan bagi kita orang Kristen yang sedang menjalani puasa selama masa pra-Paskah.

Puasa menurut Lynne M. Baab (2006) dalam bukunya Fasting: Spirituality Beyond Our Appetites, menyatakan puasa merupakan sebuah undangan dari Tuhan untuk mendorong kita bertumbuh dalam kebebasan sejati. Bukan hanya sekedar "menahan diri" dari hawa nafsu jasmani seperti makanan, seks, keinginan, tontonan, dan lain-lain. Dalam puasa, Tuhan memberikan sebuah undangan khusus kepada pengalaman kebebasan yang berakar pada penerapan disiplin yang sehat. Puasa menjadi salah satu disiplin yang dapat menolong kita melawan budaya konsumerisme yang mengambil bentuk dalam banyak dimensi. Puasa juga dapat menjadi sarana kita mundur dari budaya yang sedang berkembang dan mengambil langkah mendekat pada kehadiran Tuhan. Ruang kita dapat mendengar Tuhan dan berdoa dengan segenap hati. 

Catatan KLHK di atas dapat menjadi petunjuk bagi kita akan bahaya budaya konsumerisme manusia. Manusia menjadi sulit untuk lepas dari hawa nafsu dalam hal urusan perut. Dan jika waktu berpantang atau puasa habis, justru menjadikannya pelampiasan untuk makan atau membelanjakan sesuatu. Momen puasa seharusnya semakin menyadarkan kita bahwa kebutuhan dasar manusia bukan hanya soal makanan atau minuman. Dengan berpuasa kita diajak kembali untuk memaknai aktivitas makan dan minum dalam keseharian kita. Pada momen puasa menjelang Paskah, sudah sepantasnya kita mengambil waktu untuk merenung. Merenung menjadi satu disiplin spiritualitas yang mungkin sulit untuk dilakukan di tengah tantangan budaya saat ini. Ada banyak gangguan yang membuat manusia sulit untuk diam dan merenungkan sejenak apa yang sedang ia lakukan dan apa yang sedang Tuhan kerjakan. 

Puasa sejatinya adalah pencarian akan Allah bagi insan yang lapar akan Dia, John Piper (1997: 14) menyebutnya sebagai homesickness of God. Tempat lahirnya puasa adalah karena homesickness of God. Namun ini hanyalah setengah dari kisah puasa secara Kristiani. Puasa menjadikan nafsu makan kita tidak berarti karena kerinduan kita kepada Allah lebih hebat. Sedangkan setengahnya lagi adalah kerinduan kita kepada Allah terancam karena nafsu makan kita begitu hebat. Pada setengah bagian pertama kita menyerah pada rasa lapar. Sedangkan, pada setengah bagian kedua nafsu makan kita tahan dan lawan. Puasa secara Kristiani bukan hanya sekedar efek spontan dari kepuasan yang unggul di dalam Tuhan. Hal ini juga adalah sebuah senjata pilihan melawan setiap kuasa duniawi yang berusaha mengambil kepuasan itu pergi.

The greater enemy of hunger for God is not poison but apple pie. Atau the greatest adversary of love to God is not his enemies but his gifts. Dengan kata lain, hal-hal yang menumpulkan keinginan kita akan hal-hal surgawi atau kerinduan kepada Tuhan bukan karena perjamuan orang fasik tetapi makanan ringan yang tak ada habisnya di dunia. Bukan pula video atau tontonan berlabel X melainkan hal-hal remeh yang kita nikmati sehari-hari yang ada di jam tayang platform media sosial kita. Hal-hal sehari-hari yang kita nikmati dan dikerjakan disebutkan oleh Tuhan Yesus dalam Lukas 14:18-20, seperti sebidang tanah (harta, kekayaan, kenyamanan, talenta), sepasang lembu (pekerjaan-pekerjaan kita), dan seorang istri (kehidupan seksualitas biologis). Karunia-karunia yang dimiliki oleh orang Kristen dan berbagai kesenangan-kesenangan yang sifatnya sederhana dapat menjadi musuh dan racun yang menumpulkan bahkan mematikan kehausan kita akan Allah.

Tuhan Yesus juga mengingatkan dalam Lukas 8:14, beberapa orang yang mendengar firman Tuhan, keinginan akan Tuhan muncul dalam hati mereka karena benih firman itu telah tertanam dalam hati mereka. Namun dalam perjalanan pencarian mereka akan Allah, kerinduan akan Allah itu terimpit oleh kekhawatiran, kekayaan, dan kenikmatan hidup ini. Pada bagian lain Tuhan Yesus menjelaskan bahwa keinginan akan hal-hal lain masuk dalam hati orang percaya lalu mengimpit firman itu, sehingga ia tidak berbuah (Markus 4:19). Kesenangan hidup ini" dan "keinginan akan hal-hal lain"-ini bukanlah kejahatan itu sendiri. Ini bukanlah sifat buruk. Ini adalah anugerah Tuhan. Hal-hal lain itu mungkin adalah daging, kentang goreng, kopi, berkebun, membaca, mendekorasi, traveling, berinvestasi, tontonan, berselancar di media sosial dan Internet, berbelanja, berolahraga, belajar, bekerja, dan lain-lain. Dan semua itu dapat berpotensi lebih besar menjadi pengganti yang mematikan bagi Tuhan.

Tuhan Yesus ketika berpuasa dalam Matius 4: 1-11 ia mengalami ujian dari iblis dalam semua kesenangan dan kebutuhan manusia. Apa yang iblis tawarkan adalah apa yang Yesus miliki dan perlukan. Akan tetapi ia tidak menaruhkan kepuasannya pada apa-apa yang sesungguhnya Ia miliki. Ia menaruhkan semua tawaran iblis pada tempatnya dengan benar di hadapan Bapa-Nya dan semua itu tidak menggantikan posisi Allah dan rencana Allah dalam hidupnya. Ia setia menanggung semua kehausan akan Allah sampai kematian-Nya di kayu salib karena dosa. Supaya rasa haus dan lapar kita akan Allah kembali dapat dipuaskan lewat darah dan kematian-Nya. Oleh karena itu, momen puasa bagi orang Kristen seyogyanya menjadi sarana bagi kita untuk menyadari keterbatasan manusia dalam menahan segala nafsu jasmani dan duniawi. Ini adalah pencarian kepada sesuatu yang lebih mendalam, kerinduan akan Tuhan, kelaparan dan kehausan akan pribadi-Nya. Sehingga ketika dalam momen puasa kita bertemu dengan Dia maka kita akan dapat memaknai kembali aktivitas sehari-hari, pie apel kita dalam kaca mata dan porsi yang benar. Ketika momen puasa telah selesai kita tidak diperbudak lagi oleh hal-hal itu. Sesungguhnya bagi orang-orang Kristen segala sesuatu yang kita lakukan dan apa yang Tuhan ciptakan adalah untuk kemuliaan Allah (Rm. 11:36; Kol. 1:16). Puasa yang sejati mengubah hati, paradigma berpikir, dan berperilaku dalam karya dan kehidupan sehari-hari untuk memuliakan Tuhan (Yes. 58:6). Dengan demikian, eating or fasting are worship for Christian. Both magnify Christ. Both send the heart -grateful and yearning-to the Giver.

Momentum Paskah yang akan kita jelang menolong kita merenungkan Allah datang ke dalam dunia membatasi diri, divine fasting, membatasi kuasa-Nya untuk sesaat menjadi sama dengan manusia. Ia mengorbankan diri-Nya untuk menebus manusia dan membebaskan manusia dari semua keinginan-keinginan natur manusia berdosa. Keinginan-keinginan yang seharusnya menjadikan berkat dan karunia yang Tuhan berikan dapat dinikmati manusia dalam kehidupan relasi dengan Tuhan. Saat segala bentuk apple pie, segala berkat dan karunia menguburkan kerinduan kita akan Tuhan, Sang Sumber Apple Pie itu maka menjadi sebuah peringatan bagi kita untuk datang kepada Tuhan sekali lagi melalui momen-momen puasa menjelang Paskah. Dalam momen puasa ini, mari kita sekali lagi memohon anugerah-Nya menolong kita melepaskan kita dari semua itu sehingga kita dapat memperoleh kelepasan sejati, freedom beyond our appetites.

Puasa juga menolong kita beriman kepada kehidupan yang akan datang. Apa yang kita inginkan dan butuhkah tidak harus dipenuhi sekarang. Puasa berbicara kita bertempur melawan segala keinginan dosa dan kelemahan kemanusiaan kita yang dapat sewaktu-waktu muncul dalam diri kita. Puasa sejatinya menyadarkan kita akan ketidakpuasan terhadap keberadaan tubuh kita yang berdosa dan kerinduan kita yang lebih banyak akan Kristus. Kerinduan kita akan Allah tidak akan pernah bisa digantikan dan dipuaskan oleh apa pun. Segala yang ada dalam dunia yang kita pikir dapat memuaskan hidup kita pada akhirnya akan binasa. Kerinduan akan kepuasan dalam Allah pada akhirnya akan diberikan pada saat kedatangan Kristus kedua kalinya. Kita akan bertemu muka dengan muka dengan Tuhan dalam kemuliaan-Nya. Pada saat inilah kita tidak perlu lagi berpuasa. Sebab Sang Mempelai Laki-laki, yakni Kristus, akan menjamu mempelai perempuan, umat-Nya dalam perjamuan pernikahan Anak Domba.

 

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline