Lihat ke Halaman Asli

Himam Miladi

TERVERIFIKASI

Penulis

Mengaku Ustaz Jangan Sembarangan Mengeluarkan Fatwa!

Diperbarui: 7 Februari 2021   20:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Panggilan atau gelar ustaz memiliki konsekuensi yang sangat berat dan bukan termasuk yang bisa mengeluarkan fatwa (Foto: Tribunnews/Danny Permana)

Saya heran dengan sikap sebagian umat Islam di Indonesia yang bangga bila dipanggil "ustaz". Bahkan tanpa segan mempromosikan dirinya sendiri sebagai ustaz. Tak jarang, dan ini yang semakin membuat rasa heran saya memuncak, orang-orang yang mengaku ustaz ini tiba-tiba mengeluarkan hukum atau fatwa.

Seperti yang dilakukan Aldi Taher. Tak ada hujan tak ada angin, mantan suami artis Dewi Perssik ini mengeluarkan fatwa bahwa pansos (panjat sosial) tidak haram!

"Deddy Corbuzier pansos ke Aldi Taher, lalu Aldi Taher pansos ke Deddy Corbuzier, jadi pansos kan nggak haram. Kecuali tema pansosnya itu kemaksiatan, itu baru haram. Jadi santai saja," tutur Aldi Taher dalam sebuah sesi wawancara pada wartawan, Jumat (5/2/2021).

Terlepas dari perkara fatwanya, Bagi saya pribadi panggilan atau gelar ustaz memiliki konsekuensi yang sangat berat.

Menurut pengertian masyarakat Timur Tengah, dalam kerangka sosial gelar 'ustaz' hanya layak diberikan pada orang yang sudah menguasai setidaknya dua belas cabang ilmu seperti nahwu, shorof, bayan, badi', ma'ani, adab, mantiq, kalam, akhlaq, ushul fiqih, tafsir, dan hadits. Berat kan?

Jadi, gelar ustaz bisa disandang dengan melalui berbagai kualifikasi keilmuan yang tidak instan. Apalagi sekedar melalui audisi di layar televisi atau mengaku sendiri. Bisa berceramah pun bukan alasan untuk bisa dikategorikan ustaz.

Tak hanya dari sisi keilmuan, kompetensi dan pengetahuan agama, gelar ustaz juga menuntut konsekuensi tanggung jawab terhadap umat. Kaum muslim yang awam sering menyandarkan permasalahan agama dalam kehidupan sehari-hari kepada fatwa-fatwa yang dikeluarkan ulama. Dan dalam kaidah syariat Islam, tanggung jawab untuk mengambil serta mengeluarkan fatwa dan hukum agama terletak di tangan seorang mufti.

Di kalangan ulama muslim ada sejumlah perbedaan dalam penentuan syarat seorang mufti, namun semua sependapat bahwa mereka harus menguasai ilmu Al Quran dan Hadis. Menurut Imam Syafi'i, seorang mufti harus menguasai Al Quran dan Hadis, nasakh-mansukhnya (dalil yang diralat dan yang meralatnya), takwil-tanzilnya (hakikat dari ayat Al Quran yang diturunkan Allah), dan tentu saja asbabun nuzul (sebab/konteks turunnya ayat Al Quran) serta asbabul wurud (kronologi)-nya.

Karena Al Quran dan Hadis berbahasa Arab, maka seorang mufti juga harus pandai berbahasa Arab, demi menghindari salah tangkap terkait makna sebuah ayat atau hadis. Selain syarat tersebut, seorang mufti juga disyaratkan dewasa, sehat akalnya, dan tentu saja beragama Islam.

Mufti juga harus menguasai persoalan-persoalan khilafiyah (perbedaan pendapat terkait hukum fikih Islam), memahami ushul fikih dengan baik, dan terpercaya serta jujur, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Ishaq Ibrahim al-Syirazi dalam kitab Al-Luma fi Usulil Fiqh. Tanpa syarat-syarat di atas, seseorang tidak diizinkan menjadi mufti, mengambil putusan atau fatwa terhadap sebuah perkara apa pun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline