Lihat ke Halaman Asli

Firman Prima Laras

Pekerja dan Mahasiswa

Pecutan itu bernama Neneng Rosdiyana

Diperbarui: 13 Maret 2025   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat itu aku sedang beristirahat sambil melihat reels Instagram. Aku terbiasa melihat konten-konten lelucon untuk penyegaran dari penatnya isi kepala. Lewatlah di beranda, sebuah meme tentang seorang wanita yang mengambil alih halaman Facebook bernama 'Marxisme Indonesia' menjadikannya halaman pribadi. Seorang wanita tersebut bernama Neneng Rosdiyana.

Aku tersenyum sedikit, terlebih setelah membaca beragam komentar netizen seperti,  "Runtuhnya Marxisme Indonesia di tangan Neneng Rosdiyana", "Semua akan menjadi kapitalis pada akhirnya.". Apalagi sepertinya sosok Neneng Rosdiyana ini adalah wanita lugu yang tidak memahami apa itu Marxisme atau akun yang dibelinya, sempat ia mengira bahwa Karl Marx adalah nama dari sebuah band.

Awalnya aku berpikir ini merupakan lelucon. Namun seiringnya waktu, anggapan kami salah besar. Neneng Rosdiyana merupakan sosok wanita luar biasa.

Ia secara aktif membagikan kegiatan sehari-harinya seperti mengaji dan bertani bersama kelompok perempuan lain yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Mentari. Neneng memberdayakan perempuan-perempuan di sekitarnya dalam mengupayakan ketahanan pangan dengan bertani sayur-mayur. Tidak lupa juga Ia memamerkan hasil tani di bazzar UMKM serta ajakan berbelanja ke warung lokal. Mungkin terdengar biasa saja namun dibenakku berpikir bukankah itu sangat dekat dengan semangat Sosialisme?

Beberapa kali Neneng juga menyindir perilaku orang-orang yang suka berteori dan berdebat soal kapitalis yang menindas sambil menyeruput kopi di kafe mahal. Perlawananya terhadap kelompok yang dirinya sebut "bandit desa". Sungguh Neneng Rosdiyana adalah aktivis dengan dampak yang nyata.

Pecutan demi pecutan ia layangkan ke wajah kita (si pandai teori tanpa praktik nyata), kepada para mahasiswa-i yang kerja nyata hanya untuk syarat kelulusan, yang tidak berangkat dari ketulusan hati untuk berdampak pada sosial, kepada kebiasaan masyarakat yang enggan untuk berbelanja di warung lokal dan menjadikannya untuk tempat berhutang (kasbon) saja, praktik pengajian ibu-ibu yang didefinisikan beliau sebagai kegiatan atau praktik penyetaraan, bahkan Karl Marx tidak luput dari pecutannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline