Lihat ke Halaman Asli

Pipit Indah Oktavia

Fresh Graduate dari Fakultas Hukum Universitas Jember

Mengapa Kita Cepat Lelah secara Mental di Era Serba Digital?

Diperbarui: 17 Juni 2025   16:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Animasi lelah mental

Kehidupan di era digital menawarkan kecepatan, efisiensi, dan konektivitas yang belum pernah ada sebelumnya. Hanya dengan satu sentuhan layar, kita bisa bekerja, belajar, berbelanja, hingga bersosialisasi tanpa harus berpindah tempat. Namun di balik segala kemudahan itu, muncul fenomena yang kian hari kian mengkhawatirkan: kelelahan mental. Banyak dari kita merasa cepat lelah, kehilangan fokus, mudah cemas, bahkan merasa kosong meski telah "online" sepanjang hari. Lalu, apa sebenarnya yang membuat kita begitu cepat kelelahan secara mental di era serba digital ini?

Pertama-tama, paparan informasi yang berlebihan (information overload) menjadi penyebab utama. Kita hidup di tengah banjir notifikasi, headline, chat grup, hingga konten media sosial yang terus-menerus datang tanpa jeda. Sebuah studi dari University of California, San Diego, mengungkapkan bahwa rata-rata orang menerima setara dengan 34 gigabyte informasi per hari - setara dengan membaca lebih dari 100.000 kata! Otak manusia, meskipun luar biasa, tetap memiliki kapasitas terbatas dalam memproses informasi. Ketika otak dipaksa bekerja terlalu keras untuk menyaring apa yang penting dan apa yang tidak, kelelahan mental pun tak terhindarkan.

Kedua, multitasking digital telah menjadi kebiasaan yang dianggap produktif, padahal justru sebaliknya. Kita terbiasa membuka banyak tab saat bekerja, berpindah dari email ke Zoom meeting, lalu lanjut scroll TikTok atau Instagram seolah itu hal yang biasa. Padahal menurut riset dari Stanford University, multitasking justru menurunkan efisiensi dan merusak daya fokus jangka panjang. Pikiran yang terus terfragmentasi ini menyebabkan perasaan "sibuk tapi tidak selesai," yang memperparah stres dan kecemasan.

Selain itu, media sosial telah menciptakan standar kebahagiaan semu. Kita terus-menerus melihat pencapaian, kebahagiaan, dan kesempurnaan orang lain dalam bingkai estetik. Tanpa sadar, otak kita mulai membandingkan - mengapa hidup kita tidak semenarik itu? Ini disebut dengan "toxic comparison", dan menurut American Psychological Association, ini menjadi salah satu pemicu utama menurunnya kesehatan mental generasi digital, terutama remaja dan dewasa muda. Ironisnya, kita tetap kembali ke media sosial, seolah mencari jawaban dari sumber yang justru memperburuk luka psikologis kita.

Tak hanya itu, batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi pun mengabur. Era digital membuat kita selalu "tersambung." Notifikasi pekerjaan bisa muncul kapan saja, bahkan saat makan malam atau libur akhir pekan. Akibatnya, otak kita tidak pernah benar-benar istirahat. Sebuah survei dari Microsoft menemukan bahwa lebih dari 60% pekerja merasa burnout sejak bekerja dari rumah secara intensif selama pandemi. Hal ini menciptakan "always-on culture" yang tak sehat dan membuat kita lelah sebelum hari benar-benar dimulai.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah minimnya ruang hening dan refleksi. Sebelum era digital, kita punya waktu-waktu jeda alami - menunggu bus, berjalan kaki, atau hanya duduk tanpa gangguan. Kini, setiap detik yang kosong segera diisi dengan mengecek ponsel. Padahal dalam keheningan, otak punya kesempatan memulihkan diri, merenung, bahkan memproses emosi. Kehilangan momen-momen ini berarti kehilangan kesempatan untuk menyembuhkan kelelahan itu sendiri.

Lalu, bagaimana solusinya? Langkah pertama adalah menyadari bahwa kita bukan mesin digital yang bisa bekerja tanpa henti. Menerapkan digital minimalism seperti yang dikemukakan Cal Newport dalam bukunya bisa menjadi awal yang baik: memilah dengan sadar aplikasi atau platform yang benar-benar memberi nilai. Selain itu, penting untuk mengatur waktu layar, menetapkan jam kerja yang jelas, serta memberi ruang untuk "offline" - baik dalam bentuk tidur yang cukup, interaksi fisik dengan orang terdekat, maupun waktu untuk alam.

Era digital tidak akan berhenti berkembang. Tapi manusia tetaplah manusia - makhluk yang butuh jeda, keheningan, dan keaslian. Di tengah dunia yang terus terkoneksi, mungkin yang paling kita butuhkan adalah momen-momen untuk memutus sambungan, agar bisa kembali terhubung - dengan diri sendiri.

Referensi:

American Psychological Association (2022). Social Media and Mental Health.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline