Reshuffle pertama Kabinet Merah Putih di bawah Presiden Prabowo Subianto menjadi peristiwa politik yang menyita perhatian publik. Sebagian masyarakat menilai langkah ini sebagai penyegaran untuk memperbaiki kinerja pemerintahan, sementara sebagian lainnya menganggapnya hanya rotasi kekuasaan tanpa arah perubahan yang jelas. Pergantian Sri Mulyani dengan Purbaya Yudhi Sadewa di Kementerian Keuangan menjadi contoh paling mencolok. Bagi sebagian pihak, keputusan itu dipandang sebagai strategi baru mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa kredibilitas fiskal Indonesia bisa terancam. Respon negatif pasar yang ditandai dengan penurunan IHSG menunjukkan bahwa reshuffle tidak bisa dilepaskan dari dampak ekonomi secara langsung (Kontu, 2025).
Lebih jauh, reshuffle bukanlah sekadar pergantian teknis, tetapi juga sarat makna simbolik. Masuknya Mukhtarudin, Ferry Juliantono, dan Gus Irfan dalam jajaran kabinet, serta masih kosongnya posisi Menko Polkam dan Menpora, dibaca publik sebagai bagian dari negosiasi politik yang belum selesai. Hal ini mempertegas bahwa masyarakat kini lebih kritis: mereka tidak lagi pasif menerima kebijakan, melainkan aktif menafsirkan dan mengkritisi setiap langkah politik pemerintah. Dengan kata lain, reshuffle telah menjadi arena komunikasi politik yang penuh simbol dan kepentingan.
Meskipun demikian, reshuffle selalu menyalakan secercah harapan. Setiap pergantian menteri membuka kemungkinan adanya perbaikan, meski tipis jaraknya dengan kekecewaan. Publik menginginkan menteri baru tidak mengulang pola lama, seperti minim transparansi atau hanya fokus pada konsolidasi politik. Pengalaman dari menteri-menteri sebelumnya dapat menjadi cermin: apa yang sudah baik seharusnya diteruskan, dan apa yang masih kurang harus diperbaiki. Dengan demikian, reshuffle dapat menjadi momentum untuk memperkuat kredibilitas pemerintah sekaligus meningkatkan kepercayaan publik.
Menurut saya, reshuffle kali ini juga harus ditempatkan dalam konteks tantangan global. Indonesia tidak hanya menghadapi persoalan politik domestik, tetapi juga tekanan internasional seperti ancaman resesi, perubahan iklim, dan digitalisasi ekonomi. Menteri-menteri baru harus memiliki visi yang lebih luas, bukan sekadar mengelola kepentingan politik jangka pendek. Jika reshuffle hanya berhenti sebagai monolog kekuasaan, ia akan kehilangan maknanya. Namun, apabila dijadikan sebagai ruang dialog antara pemerintah dan rakyat, reshuffle dapat menjadi jalan menuju kebijakan yang lebih transparan, inklusif, dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat.
Sebagai mahasiswa, saya melihat reshuffle bukan hanya sekadar peristiwa politik, melainkan juga refleksi hubungan pemerintah dengan rakyat. Masyarakat tidak lagi puas dengan simbol dan retorika, mereka menuntut bukti konkret. Karena itu, reshuffle hanya akan bermakna apabila benar-benar diikuti dengan kerja nyata yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat. Pada akhirnya, bukan jumlah kursi yang berganti yang penting, tetapi sejauh mana pergantian itu mampu membawa perubahan nyata.
Referensi
Kontu, S. R. L. (2025, 8 September). Kabinet Baru, Harapan Lama: Apakah Reshuffle Bisa Menjawab Kekecewaan Publik? Kompasiana. https://www.kompasiana.com/studyrizallk6810/68bef9b1c925c424852a1f02/kabinet-baru-harapan-lama-apakah-reshuffle-bisa-menjawab-kekecewaan-publik
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI