Baru-baru ini jagat maya dihebohkan dengan beredarnya video sebuah mobil taktis polisi yang membubarkan aksi masa yang melindas seorang driver ojol di kawasan Senayan, Jakarta Pusat pada Kamis (28/8/2025).
Dikabarkan bahwa driver tersebut akhirnya meninggal dunia setelah menjalani perawatan beberapa saat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat.
Kejadian ini dipicu gerakan masyarakat yang melakukan demo di DPR untuk menolak tunjangan perumahan DPR di seputaran Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, berlangsung sejak Senin siang hingga malam.
Unjuk rasa ini dipantik oleh undangan berdemonstrasi yang tersebar di media sosial selama beberapa pekan terakhir. Masa aksi kemudian turun ke jalan karena tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan dinilai tidak pantas di tengah kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Mereka pun kian tersulut emosinya setelah melihat pernyataan dan sikap dari sejumlah anggota DPR yang tidak empatik (Kompas.Id/27/08/2025).
Lantas, di mana letak keadilan ? haruskan masyarakat kecil menjadi tumbal di tengah meningkatnya tunjangan anggota DPR RI ? Apakah negara gagal dalam menyelamatkan demokrasi bangsa saat ini ? Pertanyaan pemantik ini kemudian bisa menjawab keadaan demokrasi di Indonesia akan perlahan-lahan menuju kematian.
Kenaikan Tunjangan DPR Kontradiktif Dengan Efisiensi Anggaran
Di tengah gencarnya pemerintah pusat melakukan efisiensi anggaran besar-besaran namun kontradiktif dengan kebijakan di tubuh DPR yang menaikan tunjangan Rp 50 Juta per bulan. Hal ini tentunya menimbulkan kemarahan publik.
Selanjutnya implementasi kebijakan efisiensi ini tampaknya tidak seragam di seluruh tingkatan pemerintahan. Di tingkat pusat, misalnya, terdapat beberapa langkah yang tampaknya bertolak belakang dengan prinsip efisiensi yang didorong di daerah.
Misalnya beberapa waktu lalu, pengangkatan enam staf khusus menteri pertahanan dapat berdampak pada pemborosan anggaran. Kemenhan harus mengeluarkan anggaran untuk gaji dan tunjangan kepada seluruh staf khusus baru yang diangkat.
Di sisi lain, langkah Presiden Prabowo Subianto di awal pemerintahan dengan menambah jumlah kementerian juga mencerminkan pemborosan anggaran. Kebijakan itu membuat biaya yang harus dikeluarkan negara bertambah seiring jumlah menteri dan wakil menteri yang melonjak.Ketika ada efisiensi, justru menambah personel yang berdampak pada anggaran. (Kompas.Id/12/02/2025).