Lihat ke Halaman Asli

Parlin Pakpahan

TERVERIFIKASI

Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Guru Spiritual Ada di Sekitar Kita

Diperbarui: 25 Februari 2023   13:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Like or dislike pencarian spritual di ketinggian. Foto: himalayanyoganepal.com

Guru Spritual Ada Di Sekitar Kita

Yang paling mudah kita kenang dalam hidup ini adalah pengalaman semasa sekolah, ntah itu semasa SD, SMP, SMA dan PT, atau kenangan unik ketika bertualang ke tempat-tempat mempesona dan mengesankan seperti Bukit Holbung Samosir, Persawahan Rimba di Pangaribuan, atau Kawah Kelimutu Flores, atau menyeberangi Selat Lombok yang dalam dan bergelombang besar, atau bisa juga kenangan perkawanan di kelompok-kelompok tertentu ntah pun kelompok itu bernama atau tidak.

Tapi tetap kenangan yang termudah diingat adalah kenangan semasa bersekolah di jenjang terakhir yang bisa kita ikuti sesuai sikon eksos atau sosial-ekonomi kita masing-masing.

Kali ini, saya mencoba mengenang pangalaho atau perilaku mahasiswa di kelas yang tak terlalu ramai di masa lalu. Dalam sistem SKS kan ada mata kuliah pokok dan mata kuliah pilihan. Semester demi semester yang kita lalui ditentukan IP kita. Itulah pendapatan kita untuk menentukan pilihan mata kuliah berikutnya. Memilih mata kuliah atau belanja kredit SKS, tak ubahnya belanja di Pasar Inpres. Semakin kecil nilai kita maka mata kuliah yang dapat kita beli atau ambil pun pas-pasan.

Maka bermainlah di IP medium. Apa pasal? Ya tak merepotkan dan juga tak memalukan. Kalau di ruang publik sekarang kl kelas menengah masyarakat-lah. Ini artinya sudah bisa punya mobil, meski mobil kreditan.

Terkenang rangkaian perkuliahan semester demi semester di masa lalu, saya mencoba mengenang reaksi hening alias tak terucapkan dari seorang kawan terhadap kawan lainnya di sebuah kelas mata kuliah pilihan. Kawan pertama adalah seorang yang suka duduk di bangku belakang. Dia seorang yang blak-blakan, bersemangat dan pemarah. Kawan satunya lagi adalah seorang yang pendiam. Yang saya tahu dia banyak pengalaman konseling dan tampaknya siap berubah baik secara spiritual maupun psikologis. Keren kan di masa itu sudah ada lembaga konseling di kampus. Sayang, saya tak pernah bermain ke situ, except si pendiam yang setahu saya pernah ke situ berulangkali.

Kelas ketika itu kosong, maklum si "Dosen telat" yang bakal datang. Nah ada kesempatan. Kawan pertama itu melontarkan kata-kata kasar terhadap kawan kedua, si pendiam mencuatkan ekspresi jijik dan kesalnya tapi tak kentara. Karena duduk di barisan depan, responnya tak terlihat. Tapi saya dapat merasakannya, dan tak dapat mengatakan apapun kepadanya, karena waktunya tidak tepat.

Kelas pun berdiskusi ramai sekenanya, sementara si Dosen telat belum masuk. Di lingkaran tengah dan belakang diskusi meluap kemana-mana. Ee ntah apa dan mengapa, kawan si pemberang itu melemparkan penanya ke papan tulis dan hampir saja mengenai kepalaku. Itulah kampus perkotaan ibarat "blackboard jungle", dimana mahasiswa-mahasiswanya suka recok dan tidak mesti tertib. Syukur si Dosen telat tak lama kemudian masuk, maka respon si pemberang lain sirna sudah.

Begitu kelas bubar, kawan pertama yang pemberang itu mendatangi saya dan meminta maaf, karena saya sempat melotot dan hampir meledak marah. Untung ada "save by the lecturer". "Maaf, saya berlebihan tadi", katanya. "Apakah ada sesuatu yang bisa saya lakukan untuk mengendalikan emosi saya," katanya lagi.

"Mengapa kau tidak mempertimbangkan konseling jangka pendek untuk memangkasnya," jawabku singkat. Soalnya kalau berdiskusi panjang sama anak ini percuma. Maklumlah kepemberangannya masih meletup-letup, so susah dipegang, Jangan-jangan nanti duel sama saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline