Ruislag tanah wakaf menurut Hukum Islam dikenal dengan istilah istibdal. Istibdal adalah perbuatan terhadap asset atau barang wakaf yang menggantikan wakaf yang asli setelah dirubah peruntukannya. Menurut Muhammad Abid Abdullah Al Kabisi istibdal adalah tukar menukar barang wakaf yang sudah dijual guna kepentingan wakaf . Menurut Imam Syarqawi istibdal (tukar guling) adalah memindahkan atau mengalihkan barang yang mengalami kerusakan dengan benda yang baru atau lebih baik dari benda yang sebelumnya. Sedangkan menurut Ibnu 'Abidin istibdal adalah mengubah suatu benda wakaf dengan benda yang lainnya.
Mazhab Syafi'i' Ruislag atau tukar guling dilarang secara mutlak. Di dalam kitab Fath Al-Mu'in menjelaskan bahwa harta wakaf tidak dapat dijual meskipun sudah rusak dikarenakan harta benda wakaf yang sudah diikrarkan sudah menjadi milik Allah SWT. Sebenarnya ada dua kelompok atau pandangan : Kelompok pertama, melarang penjualan harta benda wakaf ataupun menggantinya. Menurut mereka harta benda wakaf hanya bisa dimanfaatkan dengan cara menggunakannya sampai habis, sehingga harta benda wakaf tersebut tetap memiliki unsur wakaf dan tidak boleh untuk dijual atau ditukar. Kelompok kedua, yang membolehkan penjualan atau pertukaran harta benda wakaf. Pendapat ini berlaku hanya pada harta benda wakaf bergerak. Sedangkan pada harta benda wakaf tidak bergerak, ulama Syafi'i tidak ada membahas di dalam kitab mereka. Sehingga karena tidak ada pembahasan dalam kitab mereka mengenai harta benda wakaf tidak bergerak menyebabkan seolah mereka tidak memperbolehkan untuk menjual atau menukar harta benda wakaf.
Ulama kalangan Malikiyah melarang adanya pergantian harta benda wakaf, akan tetapi ulama kalangan mereka tetap memperbolehkan dengan membedakan bergerak dan tidak bergerak harta benda wakaf. Harta benda wakaf yang bergerak, pada kalangan mazhab maliki banyak yang memperbolehkan pergantian harta benda wakaf yang bergerak dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan dengan syarat bahwa untuk mengganti harta benda wakaf harus tidak bisa untuk dimanfaatkan lagi.Harta benda wakaf yang tidak bergerak, pada kalangan ulama Maliki melarang dengan tegas adanya pergantian harta benda wakaf yang tidak bergerak, kecuali dikarenakan adanya keadaan darurat dan demi kepentingan umum.
Menurut Imam Hanafi penukaran atau pergantian harta benda wakaf diperbolehkan oleh siapapun tanpa melihat jenis barang yang diwakafkan. Mazhab Hambali, Ruislag atau tukar guling boleh dilakukan hanya pada saat darurat, seperti harta benda wakaf yang tidak bagus lagi. Selama ruislag tidak mengubah tujuan wakaf maka diperbolehkan.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 40 menyatakan bahwa harta wakaf tidak boleh (1) dijadikan jaminan, (2) disita, (3) dihibahkan, (4) dijual, (5) diwariskan, (6) ditukar atau diruislag, maupun (7) dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Larangan itu tidak mutlak. Pasal 41 Undang-Undang Wakaf menyatakan bahwa ruilslag tanah wakaf diperbolehkan apabila harta benda wakaf digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah dan setelah memperoleh izin tertulis dari menteri agama atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia. Adanya pengecualian ini, antara lain agar program pembangunan jalan yang melewati tanah wakaf tetap bisa dilaksanakan. Juga agar tanah wakaf bisa lebih produktif setelah dilakukan ruilslag.
Pada Pasal 49 PP No 42 tahun 2006 dinyatakan (1) Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan BWI. (2) Izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut: (a). perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah; (b). harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf; atau (c). pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak. (3) Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), izin pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan jika: (a). harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan; dan (b). nilai dan manfaat harta benda penukar sekurang- kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula. (4) Nilai dan manfaat harta benda penukar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur: (a).pemerintah daerah kabupaten/kota; (b).kantor pertanahan kabupaten/kota; (c).Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota; (d).kantor Departemen Agama kabupaten/kota; dan (e).Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.
Nilai dan manfaat pada tukar guling diperhitungkan dengan 2 cara, yaitu: Harta benda yang akan ditukar memiliki NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) paling sedikit sama dengan NJOP harta benda wakaf yang sebelumnya dan harta benda wakaf yang akan ditukar pada wilayah yang strategis sehingga mudah untuk dikembangkan.
Prosedur penukaran (ruislag) harta benda wakaf adalah sebagai berikut: (1) Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti (ruislag) kepada Menteri Agama melalui KUA dengan menjelaskan alasan-alasannya. (2) Kepala KUA kecamatan meneruskan permohonan ruislag kepada Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota. (3) Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota kemudian membentuk tim penilai harta benda wakaf dan harta penukarnya. (4) Bupati/walikota kemudian membuat surat keputusan berdasarkan penilaian dari tim penilai tersebut. (5) Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota kemudian meneruskan permohonan ruislag dengan melampirkan hasil penilaian tim penilai kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi. (6) Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi kemudian meneruskan permohonan ruislag kepada Menteri Agama melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. (7) Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam selanjutnya membuat permohonan pertimbangan/rekomendasi ruislag kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI). (8) BWI kemudian meneliti kelengkapan dokumen-dokumen ruislag dan merapatkannya dalam suatu rapat pleno. Apabila pleno menyetujui, BWI selanjutnya memberikan rekomendasi ruislag kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. (9) Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam selanjutnya meneruskan permohonan dan rekomendasi ruislag kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Agama untuk diteruskan kepada Menteri Agama dan diproses penerbitan SK dari Menteri Agama. (10) Apabila semua dokumen dan prosedur ruislag dinilai sudah benar, Menteri Agama kemudian menerbitkan surat izin ruislag.
Nurul Huda/ Warek IV Universitas YARSI/Ketua Lembaga Wakaf MES/Ketua Umum ILUNI UI KWTTI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI