Di kampung-kampung, inti dari sebuah pesta pernikahan adalah pelaksanaan serangkaian upacara adat. Ia tak lebih dari tradisi, yang praktiknya berbeda di daerah satu dengan tempat lainnya.
Di kampung saya, momen tersebut seakan menjadi keharusan yang tidak bisa "tidak". Mungkin karena sudah merupakan tradisi. Terutama bagi anak perawan, semiskin apapun orangtuanya. Warga setempat menyebutnya "bimbang"
Andai "bimbang" tidak dilaksanakan, cenderung menimbulkan fitnah. Anak daro jo marapulai (pengantin wanita dan pria) dicurigai berkasus. Dituding tidak perawan tersebab melanggar etika dan norma agama alias berzina. Walaupun zaman kini tak jarang juga belum genap lima bulan pasca akad nikah, pengantin perempuannya sudah melahirkan. Bahkan ada yang dalam hitungan minggu.
Ironisnya, segala dana yang berkaitan dengan hajatan, ditanggung oleh pihak perempuan. Kecuali urusan administrasi untuk ijab qobul (biaya nikah dan mahar).
Tak aneh zaman saya dahulu, mulai anak gadisnya berumur 7 tahun, para orangtua sudah mulai guyuran. Umpamanya menyiapkan perangkat kamar atau peralatan tidur pengantin.
Hal ini dapat dimaklumi, dahulu di kampung-kampung belum ada jasa sewa pelaminan. Tidak sama dengan sekarang. Di desa atau di kota kapan butuh tinggal telepon. Tarif negoan sangat irit ada, yang sedang banyak, kelas super mewah pun berjibun. Bisa disetarakan dengan ketebalan kantong.
Yang meringankan, "bimbang" bisa dibuat sesederhana mungkin. Tidak ada yang mengejek kalau memang pengantinnya keluarga tak punya. Yang penting pada hari "H"-nya kedua mempelai berpakaian pengantin, rebana ditabuhkan, suara zikir mengalun. Ini adalah ciri khas pesta pernikahan anak perawan, yang berlaku di kampung saya. Tamunya para tetangga dan kerabat terdekat saja. Mereka diundang secara lisan oleh panitia yang ditunjuk.
Perjamuan besar-besaran juga banyak. Sesuai status sosial pemilik hajat. Ribuan undangan dilayangkan, motong sapi motong kambing, mengundang orang-orang penting, menyewa band dan artis terkenal. Namun zikir rebana tak boleh tinggal.
Yang kasian, ada hajatan yang kurang mujur. Orangtua pengantin kaya, undangan telah tersebar, sapi sudah dipotong. Eh ...! Walimatul 'Urs-nya sepi. Yang hadir boleh dihitung dengan jari.
Rangkaian acaranya lumayan unik. Usai akad nikah, pengantin lelaki belum boleh nginap di tempat isterinya. Nanti pada hari perhelatan, beriring zikir dan rebana dia diarak ramai-ramai oleh sanak keluarganya ke kediaman mempelai wanita. Ritual ini desebut "nganta marapulai" atau mengantar mempelai lelaki.
Selajutnya siap mengikuti acara "duduk basandiang duo" atau duduk bersanding berdua. Ini merupakan acara puncak dari apa yang disebut "bimbang" tadi. Berlaku untuk si kaya dan si miskin.