Lihat ke Halaman Asli

Nurifah Hariani

Guru (dulu)

Sehari di Namlea

Diperbarui: 2 Oktober 2025   19:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pantai di Namlea. Sumber Wikipedia

Mataku bisa terbuka juga. Silau karena cahaya matahari yang menerobos masuk melewati celah jendela. Terlalu terang untuk disebut pagi. Ketika kubuka tampak pemandangan yang mempesona. Tirai kabut di timur sudah tersibak, matahari mengulum senyum dengan sinarnya yang hangat. Gumpalan awan kelabu menepi, tergantikan dengan hamparan biru. Tampak pucuk-pucuk pohon kelapa berkilat memantulkan sinar mentari.

Di luar kamar sudah ada seorang perempuan yang menyambutku. Senyumnya manis sekali. Tangannya memegang telinga cangkir kopi yang mengepulkan asap tipis. Aromanya menyeruak masuk ke dalam hidung tanpa permisi. Aku menghidu begitu saja, menggugah nyawa yang masih setengah tertidur agar benar-benar terjaga.

"Masih mengantuk, Mas?" Suaranya terdengar lembut mendayu. Mendengarnya membuat naluri kelelakianku seketika terbangun.

"Begitulah." Aku menarik kursi di depannya. Tangannya gemulai menuangkan cairan hitam pekat dari cangkir ke dalam lepek. Ia meniupnya sebentar lalu memberikannya kepadaku.

Ketika aku menyesap kopi itu, terdengar tawa kecilnya. Ia selalu menertawakan caraku minum kopi. Kopi itu enak diminum ketika panas, namun aku menyukainya saat menjadi hangat.

"Bapak sedang membersihkan kandang," jawabnya tanpa kutanya.

Ada rasa sedikit sesal di hati, harusnya aku bangun lebih pagi. Semalam aku sudah berjanji akan menemaninya ke kandang sapi di belakang rumah ini. Anggap saja upaya untuk mendekatkan diri dengan calon mertua. Bukankah itu tujuanku datang ke sini?

Kopi ini benar-benar mujarab. Kepalaku yang sejak semalam berdenyut-denyut mulai mereda. Menempuh perjalanan sejauh lebih dari dua ribu kilometer dalam dua belas jam cukup membuatku lelah. Lelah yang tak seharusnya, mengingat usiaku yang belum mencapai tiga puluhan.

Beda jauh dengan Pak Dullah, ayah Anya yang usianya hampir delapan puluh tahun. Lelaki yang rambutnya sudah memutih semua itu masih tampak bugar. Beberapa bulir keringat membawahi keningnya yang telah berkeriput, namun gerak tubuhnya yang gesit dan senyumnya yang lebar masih menunjukkan semangat yang meluap.

Pak Dullah minum kopi dengan tergesa dan cepat-cepat menyelesaikan sarapannya. Ia sudah tak sabar mengajakku jalan-jalan senyampang matahari belum terlalu tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline