Indonesia merupakan negara hukum yang diatur dalam pasal 1 ayat (3) UUD RI Tahun 1945. Sebagai sebuah negara, Indonesia memiliki sistem pemerintahan untuk mengatur dan mengelola tata negara. Dalam sistem pemerintahan terdapat lembaga-lembaga yang didirikan dengan tugas dan fungsinya masing-masing dalam mengelola negara. Salah satu lembaga tersebut yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
DPR sebagai dewan perwakilan rakyat dalam sistem pemerintahan politik memiliki tugas untuk menyuarakan aspirasi rakyat dan mewujudkan kepentingan bersama melalui proses legislasi, pengawasan, dan penyusunan anggaran. Hal tersebut seperti yang dijelaskan dalam Pasal 20A UUD 1945 yang mana fungsi tersebut menjadi dasar legitimasi DPR sebagai representasi rakyat. Selain itu, sebagai wakil rakyat, DPR juga harus bisa menerapkan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas-tugasnya serta diharapkan dapat membangun komunikasi yang baik kepada masyarakat, DPR tidak hanya sekadar "mendengar" saja dan menyampaikan aspirasi rakyat tetapi perlu adanya keterbukaan DPR terhadap masyarakat, sehingga komunikasi politik dapat terjalin sesuai dengan sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia.
Namun, jika melihat kondisi terkini yang terjadi di Indonesia, peran dan fungsi DPR seolah menyimpang dan tidak sesuai dengan namanya sebagai "wakil rakyat". Masyarakat seolah sudah kehilangan kepercayaan terhadap "perwakilan rakyat". Hal ini yang menjadikan seolah komunikasi yang terjadi antara DPR dan masyarakat kian menurun, tetapi hal tersebut bukan tanpa sebab. Jika ditelisik dan diamati dari awal tahun 2025, sudah banyak sekali kejadian yang semakin lama membuat kepercayaan masyarakat terhadap DPR terkikis. Hal tersebut tampak pada kebijakan-kebijakan yang kontroversial, mulai dari unggahan gaji DPR yang viral di berbagai media sosial, seperti X, Tiktok, dan media sosial lain yang mana kini media sosial menjadi salah satu alat yang digunakan dalam berkomunikasi, hal tersebut menunjukkan bahwa media sosial berperan aktif dalam membentuk opini publik dan menjadi media baru bagi komunikasi politik.
Beberapa kasus yang menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat seperti rencana kenaikan pajak hingga 12% dan kasus korupsi yang menimpa anggota DPR, serta sikap DPR sebagai lembaga politik baik dalam rapat maupun di hadapan publik yang tersorot media. Dilansir dari Kompas.com, terdapat rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang sempat dirancang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Walaupun pada akhirnya pemerintah memutuskan bahwa PPN 12% hanya akan dikenakan pada barang dan jasa mewah saja, tetapi adanya kebijakan yang tidak konsisten dikarenakan respon dari publik, hal ini menunjukkan bahwa masih minimnya keterbukaan dan keterlibatan masyarakat dalam melakukan komunikasi politik dengan DPR terkait kebijakan yang menyangkut kepentingan publik. Hal ini menyebabkan masyarakat beranggapan bahwa kebijakan ini memberatkan, terutama bagi kelompok menengah yang mengalami kesulitan akibat banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan krisis ekonomi, sehingga kemudian banyak masyarakat mengkritik bahkan sampai membuat petisi pembatalan kebijakan ini.
Hal lain yang dianggap tidak sejalan dengan masyarakat dan sedang panas dibicarakan di berbagai media sosial saat ini yaitu kenaikan gaji dan tunjangan DPR yang menimbulkan kritikan tajam dan amarah masyarakat Indonesia. Isu yang sedang hangat tersebut menyoroti adanya jumlah gaji dan tunjangan yang diterima DPR melambung tinggi. Tunjangan tersebut mencapai Rp50.000.000 per bulan. Hal ini dikarenakan, para anggota dewan sudah tidak mendapatkan rumah dinas lagi, sehingga tunjangan ini ditujukan sebagai pengganti adanya rumah dinas bagi anggota DPR. Tidak hanya itu, dengan adanya berbagai unggahan mengenai hal tersebut, jika diakumulasikan maka gaji DPR bisa mencapai angka Rp3.000.000 per hari dengan tunjangan-tunjangan lain yang dianggap tidak masuk akal oleh masyarakat sehingga banyak masyarakat menganggap bahwa gaji DPR tidak sesuai dengan kinerja para anggotanya terhadap masyarakat.
Selain dari kebijakan-kebijakan yang menuai kontroversi tersebut, citra DPR di mata masyarakat juga semakin merosot dikarenakan beberapa anggota DPR tidak mencerminkan sikap sebagai dewan perwakilan rakyat. Maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para anggota dewan, seperti kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR yaitu Heri Gunawan dan Satori (Kompas.com, 8/8/2025) dan yang juga dilansir dari artikel Kompas.com (15/09/2023) yang memberitakan seorang Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat bernama Tasmin yang tertangkap dalam video yang beredar di WhatsApp sedang tertidur pulas saat rapat paripurna . Adanya kejadian seperti ini menunjukkan bahwa sikap para anggota dewan tersebut seolah sebagai simbol politik dalam komunikasi politik yang tidak efektif yang menunjukkan bagaimana komunikasi politik gagal dalam membangun citra positif dan integritas DPR.
Berbagai paparan kejadian yang melibatkan DPR ini tentu menimbulkan opini atau pandangan masyarakat terhadap DPR yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya yaitu peran media. Media sangat berperan dalam komunikasi politik terutama dalam pembentukan opini masyarakat. Hal ini dikarenakan kini media terutama media digital seperti TikTok, X, Instagram dan media sosial lainnya sudah menjadi bagian dalam komunikasi politik. Dengan penyebaran informasi yang sangat cepat menjadikan media sosial menjadi sebuah alat untuk melakukan komunikasi politik dengan publik tanpa terhalang oleh waktu dan tempat. Hal tersebut dapat dilihat ketika terjadi isu kontroversial yang disebabkan oleh DPR. Setiap media memberitakan hal tersebut dengan bahasa dan gaya penulisan yang berbeda, tetapi merujuk pada pembentukan persepsi yang sama hingga menimbulkan konvergensi informasi. Pembentukan persepsi masyarakat terhadap DPR juga didukung oleh sikap DPR yang tersebar luas di berbagai media, baik tentang sikap maupun ucapan yang menjadi simbol dalam melakukan komunikasi politik kepada rakyat. Dalam hal ini, pastinya akan timbul dilema di kalangan masyarakat. Sebagian pasti ada yang akan mempertanyakan bagaimana sebenarnya peran dari DPR sehingga permasalahan bisa timbul, kinerja DPR sebagai wakil rakyat, dan lain sebagainya. Di sisi lain, mungkin juga ada sebagian yang tidak terpengaruh dengan media.
Melihat dari banyaknya permasalahan yang terjadi, kondisi ini semakin mengikis kepercayaan publik terhadap DPR. Hal ini tampak pada survei indikator politik Indonesia (Januari, 27 2025) yang menyatakan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya 69% dan menjadikannya lembaga ke-10 dari 11 lembaga negara yang disurvei. Dari survei Hal ini sangat dipengaruhi oleh persepsi terhadap kinerja legislatif dan isu-isu high-profile.
Oleh karena itu, jika DPR ingin kembali menjadi "wakil rakyat" yang dipercaya oleh masyarakat, perlu dilakukan beberapa langkah untuk memperbaiki kondisi tersebut, seperti penguatan transparansi untuk menunjang kredibilitas, peningkatan integritas anggota DPR melalui evaluasi dan sanksi dan tegas, serta mendorong partisipasi publik dalam proses legislasi. Hal tersebut guna untuk memperbaiki komunikasi politik yang terjalin antara DPR dengan rakyat. Jika komunikasi berjalan dengan efektif, maka DPR tentu akan mendapatkan pandangan yang baik dari masyarakat, tetapi jika komunikasi berjalan seperti saat ini tanpa adanya perbaikan, maka merupakan reaksi yang wajar jika masyarakat mempertanyakan peran DPR karena sebagai "wakil rakyat" bukan hanya sekadar "jabatan", melainkan juga bagaimana komunikasi yang dibangun oleh masyarakat karena bagaimanapun, kebijakan yang dibuat tersebut merupakan kepentingan masyarakat.
Amelia Rachmawati&Indra Rana Zafira Silaban