Lihat ke Halaman Asli

Nuning Sapta Rahayu

TERVERIFIKASI

Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

"Baju Bau Miskin?": Menelisik Krisis Empati dan Nilai Dalam Pola Asuh Anak

Diperbarui: 14 Maret 2025   16:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Ejekan (Sumber: freepik/jcomp)

Ketika Ucapan Anak Menjadi Alarm Sosial

Seorang guru terkejut saat seorang siswa SD kelas 3 berkata kepadanya, “Baju Ibu bau miskin!” 

Ungkapan ini bukan sekadar celoteh polos, tetapi menjadi cerminan bagaimana seorang anak memandang status sosial orang lain. Apakah ini sekadar kebiasaan berbicara, atau ada krisis empati yang lebih dalam?

Entah apa maksudnya, sang guru merasa badannya bersih, bajunya rapi dan wangi. Hanya saja ia memang masih guru honorer, berangkat ke sekolah dengan pakaian sederhana. Tapi apa yang salah dengan itu?

Jika ia bisa mengungkapkan hal seperti itu pada guru. Mungkin ungkapan yang lebih buruk dari itu dengan mudah dapat ia katakan pada teman-temannya.

Kasus seperti ini bukan hal yang sepele. Ketika anak mulai menghina orang lain, bahkan guru yang mengajarinya berdasarkan status ekonomi, ada beberapa pertanyaan yang perlu kita renungkan.

"Dari mana anak belajar kata-kata tersebut? Apakah mereka memahami dampaknya? Dan yang paling penting, bagaimana peran lingkungan dalam membentuk pola pikir mereka?"

Anak dan Krisis Empati: Dari Mana Asalnya?

Pakar pendidikan anak menegaskan bahwa empati dan kesadaran sosial bukanlah sesuatu yang otomatis muncul dalam diri seorang anak. Itu adalah hasil dari pengalaman, pengajaran, dan pengaruh lingkungan. 

Jika seorang anak terbiasa melihat atau mendengar hinaan terhadap orang lain karena faktor ekonomi, kemungkinan besar mereka akan menirunya.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini:

  1. Lingkungan Keluarga
    Anak adalah cerminan dari lingkungan terdekatnya. Jika di rumah sering terjadi percakapan yang meremehkan orang lain berdasarkan materi, anak akan menyerap pola pikir serupa.
  2. Pergaulan dengan Teman Sebaya
    Tekanan sosial dan tren di kalangan anak-anak dapat memengaruhi cara mereka berbicara dan berpikir. Terkadang, kata-kata kasar dianggap sebagai cara menunjukkan dominasi.
  3. Media dan Budaya Konsumtif
    Tayangan media sosial, iklan, dan konten hiburan sering kali menanamkan standar bahwa kekayaan adalah tolok ukur nilai seseorang. Anak-anak yang terpapar pesan ini tanpa bimbingan bisa menginternalisasi konsep yang keliru tentang harga diri.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline